Oleh ; Akmal Hadi *)
BADUNSANAK memang tidak mesti hubungan genetik (nasab) dalam garis lurus ayah maupun disebabkan karena hubungan saudara sepupu dari kontek matriarkat (ke-ibuan), justeru persaudaraan “Badunsanak”, bisa disebabkan karena seper-sukuan, atau sapayuong sarumah gadang, ataupun sa Datuok sa niniak Mamak.
Dalam pergaulan sehari-sehari konsep “badunsanak-pun” bisa diterapkan dalam artian yang umum dan luas, mungkin saja karena memiliki rating jiwa korsa melebihi tingkat empaty luar biasa, sama halnya kepedulian antar sesama saudara “badunsanak” kandung, sehingga ucapan badunsanak adalah ikrar hebat guna merajut antar sesama kita.
“Salam satu aspal” misalnya bagi sesama pengemudi truck maupun bus antar kota dalam provinsi juga merupakan sinonim lain dari kata-kata “Badunsanak” , atau Sa Asok Sa Kumayan, maupun Sa kitab Sa Guru, Sakaji sa Aliran, juga merupakan ungkapan “Dunsanak” dalam aliran spiritual kita.
Banyak halnya yang akan jadi padanan kata untuk merajut tali persaudaraan antara sesama dengan sebutan “Badunsanak”, namun yang terpenting dan tak kalah pentingnya adalah dalam konteks akidah, untuk sepenggal kalimat “Syahadatain” adalah ucapan sakral yang tiadatara untuk ucapan bahwa kita adalah bersaudara (Badunsanak).
Jika begitu halnya, apa hubungan “Badunsanak” dengan Pilkada kita yang akan berlangsung 27 November mendatang [?].
Hubungannya tentu hubungan antara satu tekad, satu tujuan sebagai putra putri terbaik daerah masing-masing akan berbuat baik guna membangun dan berbuat yang terbaik untuk daerahnya masing-masing.
Sepanjang visioner dan Misi untuk kebaikan yang sama, maka semua kandidat pasangan calon (Paslon) disetiap kabupaten dan Kota bahkan untuk pilkada provinsi sendiripun, adalah “Badunsanak” dengan satu tekad untuk pembangunan daerah.
Semua kita sepakat, dan dengan keteguhan hati dalam “Padu Jiwa” untuk membangun Daerah, maka konsep Badunsanak tidak bisa kita elak-kan, terutama bagi kita masyarakat Ranah Minang yang terkenal dengan pameo-nya ” Bulek Aie Ka Pambulueh, Bulek Kato Dek Mufakat, artinya prinsip musyawarah adalah suatu wadah untuk memperteguh hati dalam memelihara rasa “Badunsanak”.
Tidak ada yang menginginkan tali silaturahim kekerabatan sesama “Badunsanak” pecah berderai dan hancur lebur, atau tidak satupun diantara kita yang menginginkan antar sesama “Badunsanak” terjadi pertengkaran serius dan ending-nya “Bakarek Rotan”, tentu saja kita tidak mengharapkan demikian, sehingga antara orang “Badunsanak” sering disebut “Kusuik-kusuik bulu ayam paruoh juo yang ka manyalasaian” dengan istilah Fauzanah-nya dalam salahsatu lyric lagunya “Tungkek Mambaok Rabah” disebut dengan “Cabiek-cabiek Sibulu Ayam”.
Kita ingat dalam suatu pengkaderan salahsatu organisasi ekstra kampus menyebutkan bahwa dinamika sistim (Dynamic Systim) itu perlu, agar tidak terkesan kaku dan stagnan, maka secara normatif dan dianggap normal adalah “Kusuik-kusuik bulu ayam” hal ini bertujuan untuk meng-asah dan memperkaya intelektualitas pembendaharaan materil “kosa kata”.
Semua kita mengharapkan Pilkada yang kita jelang nanti, tidak berakhir ribut apalagi mengundang anarkis, namun kita menginginkan Pilkada “Badunsanak” adalah maqam tertinggi dalam setiap perlombaan, dalam istilah olahraga disebut menjunjung tinggi sportifitas antar sesama kontestan.
Harapan demikian tidak hanya dalam cita dan hayalan belaka, artinya implementasi dari “Badunsanak” betul-betul terealisasi dalam praktek ber-Pilkada 2 bulan mendatang.
Sontak kita kaget saat ini, pada paruh awal masa kampanye (tidak terjadwal), ketika dinamika politik mulai memanas dan rada adu buzzer antar sesama pendukung, apalagi menyebar fitnah pada sejumlah media sosial dengan berbagai fitnah keji yang maaf “Tak Tamakan dek …**ng”, maka ini adalah warna kelabu dan hitam legam dalam perspektif proses Pilkada Badunsanak kita.
Sejatinya, adu argumentasi dengan “akal sehat” tanpa memfitnah yang tidak benar, dan saling memberikan kecerdasan berpolitik kepada khalayak ramai adalah sifat terpuji dalam sebuah prosesi berdemokrasi kita, khususnya di ranah minang ini.
Dan berdemokrasi yang cacat moral dan tidak terpuji niscaya akan menimbulkan “gesekan” hebat antar sesama pendukung di tengah-tengah masyarakat pemilih, sehingga kekhawatiran kita dengan wujudkan “Pilkada Badunsanak’ adalah isapan jempol belaka, apatah lagi jika sampai pada stadium “Bakarek Rotan” dan tidak hanya “Cabiek-cabiek Sibulu Ayam“.
Wallaahu a’laam. []
*)Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral UIN Bukittinggi, Ketua FKPP Sumatera Barat,Ketua PCNU Kab.Agam, Alumni MTI Candung,95, dan Pimpinan PonPes Ashabul Yamin, Lasi,Agam