Oleh : Akmal Hadi *)
SALING hujat, saling rendahkan, saling hamun, saling serang pribadi individu dan keluarga masing-masing, teror dan rendahkan martabat orang lain dan pribadi tertentu, semakin diketahui banyak orang bobroknya personal dan semakin tidak berbudi kelihatannya, bahkan semakin terlihat hampa beban yang dibungkus “batok” kepalanya masing-masing, rasionalnya pupus, kelak ditakdirkan jadi pemimpin, maka terlahirlah pemimpin yang suka hujat-hujatan dari rahim demokrasi hasil debat Pilkada.
Kalau-lah ajakan untuk Golput tak termasuk salahsatu tindak pidana pemilu, maka percayalah saya akan serukan untuk warga penghuni nusantara ini ; “Stoping here…!, jangan lanjutkan memilih, mari kita suarakan untuk hentikan Pemilihan Umum dengan melibatkan warga secara langsung, amandemen seluruh peraturan terkait pemilihan-pemilihan itu, kembalikan prosesi pemilihan kepala daerah disemua tingkatan kepada legislatif, percuma gelar pemilihan secara langsung karena berpotensi adu domba antar sesama, berpeluang bercerai berai orang satu nasab, tercabik silaturahmi secara permanen”.
Dan saya himbau seluruh anasir masyarakat mulai dari barisan sakit hati sampai ke kaum buruh harian lepas tak tercatat, mulai dari kalangan elit pengurus parpol yang terabaikan sampai ke gen-Z pemilih pemula, warga tatanan kehidupan kota sampai ke grassroot, semuanya akan saya himpun untuk ajukan petisi “tolak Pilkada”, mari kita abaikan pilkada yang menyesatkan.
Atau akan saya serukan, hentikan langkah si Pencela dan tokoh pendidik politik yang tidak beradab dan tidak punya akhlak, hilangkan pasangan calon yang selalu merendahkan martabat banyak orang, dan hilangkan proses kampanye-kampanye dan sosialisasi diri yang banyak “tipu-tipu” itu, cutting aja karier politiknya yang dinilai tidak senonoh itu, brangus mereka, bungkam mereka, kebiri hak politik mereka, karena semuanya tidak berperilaku santun dan tidak berakhlak.
Namun karena semua itu adalah salah satu dari bentuk pidana pemilu, maka saya yakinkan tekad hati untuk tidak menyerukan dan tidak tega untuk menyampaikan pendapat yang demikian apalagi dengan mengajak banyak orang se-nusantara ini, karena hukuman orang yang mengetahui suatu aturan tertentu dengan ikut melakukannya, maka akan dikenakan hukuman wajib plus hukuman tambahan sepertiga karena mengetahui bahwa itu terlarang.
Naluri saya berontak atas perilaku elitis sang ambisius yang patenteng-patenteng dengan pongah dan congkaknya sambil jumawa dan tepuk dada, sekali-kali melihat dengan wajah ganas seperti orang tak punya belai kasihan satu sama lain.
Terlihat kan [?], fase debat satu, yang sering pegang microphone dengan kesempatan terbatas yang diberikan ketagihan “menguliti” semua pihak, tak peduli dengan kebaikan selama ini, petahana terkesan ambisi full meledak, bukan visi misi dan program kedepan yang disampaikan, yang sejatinya itulah yang utama, namun apa yang terjadi, yang terjadi adalah menguliti lawan politik tak pandang bulu, di kulit dari kulit ubun-ubun sampai ke tumit kaki paling belakang dengan gagah dan jumawanya, ini kontan saja dilakukan oleh seluruh pasangan dengan status kandidat petahana.
Petahana tidak senyum, petahana ekstra serius menguliti kandidat yang lain, pendatang baru dan calon lain ikut terprovokasi yang sekali-kali menoleh pendukung dengan harapan tepuk tangan riuh menimpali hujatannya, agar semua “penyorak” berteriak yel-yel, ayo… lanjutkan, hidup nomor ini, pilih nomor itu, dan lain sebagainya, Petahana dari hongkong ….(Gumam saya).
Pada fase debat kedua, masing-masing paslon masih memuntahkan serangan demi serangan, menghujat ekstra untuk pihak yang dianggap rival-nya— Pilkada serentak dengan icon Pilkada Damai dan Badunsanak akan tinggal nama, jika pola paslon tetap membabibuta melakukan serangan dengan framing “Fitnah” dan “Rassis”, menyinggung perkara yang tidak sepantasnya untuk dibicarakan, ranah sensitif pribadipun ikut di “kuliti”.
Dalam konteks ini, sang penyerang debat tidak hanya memfitnah tanpa bukti yang jelas, justru paslon petahana lebih dominan buka ‘aib pasangan sendiri (sebelumnya mereka juga satu paket) yang masing-masing merupakan petahana (Incunbent), ke alpaan atas satu paket-nya mereka pupus demi elektabilitas bahwa dia adalah starring dalam pilkada kali ini.
Ingat Bro…!
Bahwa aib yang dibuka tersebut yang sebelumnya Allaah telah tutupi aib kalian itu, ternyata kalian yang buka sendirinya, bahkan terindikasi bahwa kalian telah “menepuk air comberan” dalam arena debat, dan hasilnya kalian telah tontonkan ke khilafan masing-masing kalian, padahal itu adalah sebuah komitmen yang harus ditutupi []
*)Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral UIN Bukittinggi, Ketua FKPP Sumatera Barat,Ketua PCNU Kab.Agam, Alumni MTI Candung,95, dan Pimpinan PonPes Ashabul Yamin, Lasi,Agam