Oleh : Ustad Akmal Hadi,S.HI,M.Pd*)
ADA banyak persamaan kata, ucapan dan perbuatan sehari-hari kita untuk sebuah pengakuan kita kepada sang Khaliq, bahwa kita adalah milik-NYA semata, tidak ada yang memilki roh (Jiwa), jasad (Jism) bahkan untuk sesuatu keinginan (iradah) kita semua, kecuali bergantung kepada-NYA, karena DIA adalah zat yang maaridun (Maha Memberi kehendak), fa’allu limaa yuriid ( maka DIA-lah yang berbuat sekehendak-NYA).
Kekuasaan juga hanya milik-NYA, Dia Qaadirun, Maha Berkuasa, kita hanya lemah, dan tidak punya kuasa untuk suatu hal apa saja, kita hanya diberi kuasa, sehingga bisa kuat, dan bisa beraktivitas sehari-hari, jikalau bukan karena Qodrat dan Iradah-NYA, kita adalah laksana bangkai tak berdaya-ungkapan lemahnya kita itu juga sering kita ucapkan seperti “Hauqal” ; Laahaulaa walaa quwwata illaa billaahil ‘adzhiiim, dan juga untuk berserah diri dengan ucapan watawakkaltu ‘allallaaah, dan lain sebagainya.
Namun sering ditemui dalam keseharian kita, meskipun sering terucap pengakuan-pengakuan atas dha’if-nya kita dengan banyaknya ucapan yang bervariasi redaksi dan narasinya, pada intinya adalah pengakuan kita, bahwa ALLAAH berkehendak sesuka-NYA, dan sekali lagi, namun, ucapan itu hanya sebatas lisan dan tidak diresepi dengan penuh “rasa” (dzuq qalb)—sehingga, pengakuan kita itu “merapung” akibat ringan dan sukarnya untuk dipertimbangkan, sehingga tidak berbekas bahwa yang diucapkan itu adalah tulus, ikhlas dan penuh dengan ridho.
Penulis pernah mengalami (empiris) ; hampir 15 tahun silam, ibunda tersayang, rahimahullaah, lahal faatihah, sewaktu terbaring sesaat setelah dipanggil oleh pemilik roh dan pemilik segala-galanya ; anak, menantu dan kerabat yang mengelilingi jasad almarhum menangis, dan tidak untuk “meratapi”, hanya menangis karena bersedih akibat ditinggal oleh Malaikat tak bersayap itu, moga Allaah ampuni segala kesalahan beliau, ibunda kami, Aamiin.
Saat diselimuti kesedihan dan menangis itu, sontak, kami dikejutkan dengan suara ayahnda, dengan ucapan rendah, lembut : “Jan Manangih, kok ka manangih, mungkin ambo yang ka manangih banyak, tapi kok ndak taantok-an beko” (jangan menangis, jika akan menangis, mungkin saya yang lebih banyak dan lebih awal untuk menangis, tapi akan sulit kalian meredakan nanti), ucapan beliau ayahnda kami waktu itu.
Perbanyak lah berdoa, tulus dan redhakan kepergiannya, Allaah sayang sama ibu kalian, ucap Buya kepada kami dengan penuh sedih.
Alhamdulillaah, sampai saat ini, setelah wafatnya ibunda kami, kami akan selalu ikhlas dan meridhoi kepergian beliau.
Kembali ke Istirja‘, ini adalah ucapan atau pengakuan bahwa kita ada pemiliknya, selain milik kedua orang tua dan keluarga besar kita, namun yang terpenting itu adalah, bahwa kita adalah milik-NYA, akan kembali kepada-NYA.
Mengutip dari buku : “Menjadi Pribadi yang Sukses” karya Dr. Ibrahim bin Hamd Al-Qu’ayyid, beliau menyebutkan bahwa maksud dari istirja‘ ialah ketika seorang muslim sedang mengalami musibah lalu membaca kalimat tersebut, ia berusaha untuk kembali kepada Allah SWT, berserah diri dan mengembalikan segala urusan kepada-Nya sebab Dia lah Pemilik setiap makhluknya.
Berangkat dari ungkapan istirja‘ itu, sebagai pengakuan tulus dalam ucapan, adalah kiranya baik untuk dibarengi ikhlas, shobar, dan redha, agar ungkapan Istirja‘; Innalillahi wainna ulaihi rooji’uun itu betul-betul menjadikan support untuk menghadapi hari esok.
Dalam konteks ayat (QS .2 : 156) kita disarankan untuk menyebut Istirja‘ ketika ditimpah mushibah, dikatakan sebelumnya oleh ayat 155 menyebutkan tentang mushibah, dari ketakutan, kelaparan, kekurangan dari harta, kekurang fisik, serta buah-buahan,semua itu adalah bentuk cobaan, sehingga Allaah sebutkan di akhir ayat 155 ; Wabasyirish shoobiriin (kabar gembira untuk orang-orang yang memiliki kesabaran).
Dan kemudian Allaah memberi tips untuk menghadapi seluruh mushibah tersebut yakni dengan ber-istirja‘ kepada-NYA : “……sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali” (QS.2 : 156).
Wallaahua’laam bish showwab []
*) Penulis adalah Raaisul ‘Aam Pondok Pesantren Ashabul Yamin Lasi Kabupaten Agam, dan Ketua PCNU Agam.