Oleh Dr. Charles, M.Pd.I *)
DALAM hidup, semua orang pasti pernah merasa takut, takut gagal, takut ditolak, takut
terlihat lemah, Namun, dalam ajaran filsafat Stoikisme yang kembali banyak dibicarakan
generasi muda hari ini, ketakutan bukanlah musuh yang harus dihancurkan, melainkan
beban yang harus dikendalikan dengan akal dan kebijaksanaan.
Epictetus, filsuf Stoik dari abad pertama Masehi, pernah berkata: “Bukan peristiwa yang
menakutkan, tetapi penilaian kita terhadapnya.” Ini berarti, sering kali kita tidak takut pada
kenyataan, melainkan pada imajinasi tentang kenyataan itu. Takut ditinggal, padahal belum
ditinggal. Takut gagal, padahal belum mencoba, Ketakutan hidup dari asumsi, bukan dari
fakta, dan karena itu, ia seharusnya tidak menjadi warisan yang kita bagikan kepada dunia.
Berbeda halnya dengan keberanian, maka Keberanian bukan tentang tidak takut, tapi tentang
memilih tetap melangkah meski ada rasa takut, Inilah bentuk tertinggi dari kontrol diri—mengambil tindakan bijak bukan karena kita bebas dari rasa gentar, tetapi karena kita tahu ada hal yang lebih penting daripada rasa takut itu sendiri: tanggung jawab, harapan, dan
kemanusiaan.
Dalam dunia hari ini yang penuh dengan ketidakpastian, kita tidak butuh lebih banyak
kecemasan, Kita tidak butuh lebih banyak suara yang menyebarkan keraguan, Kita butuh
keberanian yang bisa dirasakan dan diteladani dan Kita butuh anak muda yang bersedia
berkata: “Aku juga takut, tapi aku tetap melangkah.”
Keberanian semacam itu bukan keberanian yang keras kepala atau penuh ego, tapi keberanian yang lembut—yang hadir dengan kesadaran, empati, dan tekad.

Marcus Aurelius, Kaisar Roma yang juga seorang Stoik, mengingatkan kita untuk menghargai setiap
pagi sebagai anugerah hidup, Maka, keberanian bisa lahir dari kesadaran sederhana itu:
bahwa hidup ini adalah panggilan untuk bertindak, bukan sekadar bertahan.
Anak muda, dunia ini cukup lelah dengan ketakutan kolektif, jangan tambahkan beban itu.
Jika engkau punya kekuatan, tampilkanlah dalam bentuk keberanian yang membebaskan
dan menguatkan, sembunyikan rasa takutmu, tapi tampakkan keberanianmu, Karena
keberanianmu adalah hadiah. Bukan hanya untukmu, tetapi untuk kita semua.
Islam pun memandang serupa. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Sesungguhnya setan itu menakut-nakuti kamu dengan kawan-kawannya, maka janganlah
kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang beriman.”
(QS. 3 : 175)
Ayat ini mengajarkan bahwa sumber ketenangan bukanlah bebas dari tantangan, tetapi bersandar pada Allah Yang Maha Kuat, takut kepada Allah adalah bentuk kesadaran spiritual tertinggi, yang justru membebaskan manusia dari rasa takut yang lain.
Keberanian dalam pandangan Islam bukan sekadar berani bertindak, tapi juga berani berserah, Rasulullah saw., dalam banyak riwayat, menunjukkan keberanian yang lahir dari ketenangan hati dan tawakal. Dalam Perang Badar, saat jumlah pasukan Muslim sangat
kecil, beliau tetap tenang dan berdoa:
“Ya Allah, jika Engkau binasakan pasukan ini, maka tidak ada lagi yang menyembah-Mu di
muka bumi.” (HR. Muslim)
Doa itu bukan cermin keputusasaan, tapi ekspresi keberanian spiritual yang mendalam.
Keberanian sejati tumbuh dari keyakinan bahwa perjuangan kita adalah bagian dari skenario illahi.
Anak muda, dunia hari ini sudah terlalu lelah oleh kekhawatiran, Kita tidak butuh lebih
banyak ketakutan, Kita butuh lebih banyak orang yang berani hidup dengan nilai, berani
jujur, berani bangkit setelah jatuh. Kita butuh generasi yang meneladani Nabi Ibrahim as.,
yang berkata di tengah kobaran api:
“Hasbiyallahu laa ilaaha illa Huwa, ‘alaihi tawakkaltu, wa Huwa Rabbul ‘Arsyil ‘Adzim”
(“Cukuplah Allah menjadi penolongku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku
bertawakal.” ( QS. At-Taubah: 129)
Maka, sembunyikanlah ketakutanmu, tapi tampakkan keberanianmu—keberanian yang lahir dari iman, yang meneduhkan, bukan menakutkan, Karena keberanianmu adalah hadiah.
Bukan hanya untukmu, tapi untuk dunia yang membutuhkan harapan dan tauladan.
Wallaahua’laam bish showwab []
*). Dr. Charles, M.Pd.I. adalah dosen UIN Bukittinggi dan peneliti bidang Pendidikan Islam.