Oleh ; Bung eM *)
BELUM ada yang pasti, kecuali penguasa semesta jagad ini, Penguasa tunggal yang lam yalid walan yuulad, namun tetap juga laisa kamitslihi syai’un, selain DIA , semuanya penuh pura-pura, semuanya fatamorgana dan semuanya kilauan yang dibuat-buat (klise) — dan selain dari NYA tidak ada yang pasti, bahkan yang disebut dengan alam itu karena tidak ada yang pasti (qath’i), karena semuanya selain DIA adalah al’alaamul mutaghayyar (seluruh alam berubah).
Politisasi dinamis, bukan stagnan alias “jumud“, bukan benda baku, melainkan cair dan meleleh—bisa tumpah kemana-mana, dan bisa dilempar ke arah mana yang kita inginkan, bahkan selokan kecil sekalipun bisa jadi muara penampungan untuk politik, karena anasirnya bisa kita variasikan untuk menafsirkannya, antara sampah basah dan kering , atau sampah organik maupun non organik, politik boleh dibuang kemana kita suka, mau berdamai boleh, mau chaos juga tidak masalah—-pemilih tidak boleh dipaksa karena keberadaannya dijamin dalam struktur piranti kasar “Hak Azasi Manusia”, semua pemilih punya hak untuk bebas dan merdeka— sepanjang tidak menghilangkan hak-hak orang lain, dan tidak menyerahkan hak kita kepada siapa saja tanpa kita ridho, pokok e…kita bebas dan sangat bebas serta naturalism manuasiawi.
Jika kita dikaruniai usia panjang, bukan karena hanya merupakan takdir belaka, namun jauh dari itu, semuanya berproses, melalui bisikan kecil pada momen yang tepat, dengan lisan berucap serasi dengan tekad yang dalam agar diberikan usia panjang yang berkah dengan bermohon sungguh-sungguh dalam bisikan Do’a, kita menyeru Tuhan sekalian alam dan berdoa dengan penuh harap “tatajaafaa junubuhun ‘anil madhooji’iy yad’uuna rabb…”.
Namun juga dilarang untuk kaku dalam menafsirkan pengertian tentang arti dalam setiap surat maupun ayat yang kita sampaikan, termasuk harus sempurna sanad dan rawih yang dipercaya untuk memahami sabda-sabda tertentu.
Selain dari yang qath’i semuanya tshonniy, tshonniy masih boleh ditafsir dan bahkan sangat boleh untuk diperdebatkan dengan berbagai pemahaman yang kita miliki, tak ayal, tata cara ber-wudhu‘ saja jadi materi perbincangan, atau untuk baca qunut pada sholat shubuh dan bilangan tarawih yang dikerjakan setiap bulan ramadhan, tetap menjadi arena khilafiyah sesama para guru, dan sekaligus perbedaan yang dimaksud bisa dijadikan jembatan “perusak” harmonisasi hubungan keluarga besar dikalangan umat islam, apatah lagi masalah “tetek bengkek” seputaran perpolitikan.
Politik sukar untuk ditebak, karena menafsirkannya juga berasal dari literasi yang tidak jelas, kecuali jika merujuk kepada sabda-nya Harold Dwight Laswell (1902-1978), yang mengatakan secara qath’i tentang apa yang disebut dengan politik, politics is who gets what why and how”.
Pengukuran arah kiblat politik awal-awalnya semraut dan simpang siur sampai berakhirnya kedaulatan suatu negeri, kejadiannys seperti mengurai benang yang sengaja “dikusut”, akhirnya berpura-pura tidak mengetahui sama sekali—- serta pentas perpolitikan kita adalah “politik yang suka dengan cara suka-suka’, dan semau kita.
Karena tidak ada yang jumud alias beku karna salahsatunya pola penciptaan politik adalah benda padat yang tidak berbentuk dan kemudian dibentuk dengan senang hati, tak peduli dengan korban atau pihak yang diuntungkan—akan tetapi politik itu asyik dan menyenangkan, saking senangnya, “tak obahnya” seperti bulu halus yang sengaja dipungut dari buntut ayam kemudian dicabut dan dimasukan ke dalam lubang telinga, sedap dan nikmatnya persis apa yang disampaikan Soetan Batugana tahun 2013 lalu, “ngeri-ngeri sedap” dan tinggal mengganti dengan “geli-geli sedap”[]
*) Penulis adalah Pemred empatzona.com serta Lawyer Aktif dari IKADIN