Oleh : AKMAL HADI,S HI,M.Pd,GR *)
KITAB Kuning identik dengan penyebutan untuk kitab gundul ala pondok pesantren tradisional yang ada di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, biasanya kitab tersebut merupakan kelanjutan dari pembelajaran dan pemahaman kosa kata bahasa arab dengan mempelajari terlebih dahulu matan-matan (kosa kata) bahasa arab, seperti kitab nahu (matnul juruumiyyah), ataupun kitab Shorof (matan bina) yang kemudian ini disebutkan dengan “‘ilmu alat”
Kedua kitab tersebut adalah patokan pemula ataupun sebagai pedoman awal untuk mempelajari dan mengetahui tata baca kitab gundul atau yang disebut dengan kitab kuning diatas.
Dikutip dari literasi “pondok pesantren dan kitab kuning” maka kitab kuning disebut sebagai kitab-kitab tradisional berbahasa Arab yang berisi ajaran agama Islam, seperti akidah, akhlak, tashauf, mantiq, fiqh, tafsir dan berbagai kitab klasik lainnya.

Dalam rujukan tersebut dikatakan , maka kitab kuning ber-ciri-kan khusus sebagai berikut : Ditulis oleh ulama-ulama terdahulu, menggunakan tulisan Arab tanpa harakat, penyusunannya dari yang lebih besar terinci ke yang lebih kecil, tidak menggunakan tanda baca yang lazim, menggunakan istilah dan rumus-rumus tertentu, pergeseran dari satu sub topik ke sub topik lainnya tidak menggunakan alinea.
Maka stressing-nya, kitab kuning tidak bisa disamakan dengan bentuk tulisan bahasa arab lainnya, ada juga kitab berbentuk tanpa harkat, gundul juga, dan ada juga yang berwarna kuning, namun tidak bisa diartikan tapi bisa dibaca dengan meng-eja terlebih dahulu, akhirnya bisa juga terbaca, itulah yang disebut dengan kitab bertuliskan arab melayu, maka penulisan arab melayu tersebut tidak dapat disamakan dengan kitab gundul ataupun kitab kuning a-la pondok pesantren tradisional.

Tanpa mendiskreditkan peran pondok pesantren yang notabene dengan sebutan “Pondok Pesantren Modern” akhir-akhir ini, maka pemondokan a -la pondok pesantren salafiyah, ataupun pondok pesantren tradisional lebih dominan santrinya bergelut dengan kitab kuning / kitab gundul secara full baik dalam kelas maupun secara halakah, terutama jika santri sudah memasuki tingkat 3 minimal pada pondok pesantren klasik atau pondok pesantren tradisional.
Era ini yang disebut dengan era digitalisasi, semuanya bisa melihat dengan visualisasi internet, era modernisasi adalah tantangan dominan yang serba komplik akan dialami oleh pengasuh-pengasuh pondok pesantren terutama yang disebut dengan pondok pesantren tradisional tadi.
Kita akui, bahwa pondok pesantren akan terasa berwibawa dan punya kharisma, karena diasuh oleh kiyai sepuh dan para asaatidz (para guru) usia lanjut, yang serba tahu dengan “ilmu alat” (sebutan mumpuninya seorang kiyai sepuh pondok) maka konsentrasi yang terjadi adalah bagaimana pemahaman santri terhadap kitab kuning yang diajarkan oleh para guru pondok terhadap santrinya, sementara disatu sisi santrinya sudah terlanjur juga berinovasi dengan modernisasi pembelajaran kitab-kitab kuning via internet, karena akses semua yang dibutuhkan sebagai literasi sudah tersedia dalam jaringan internet tersebut.

Ironisnya, jika pondok pesantren tradisional, pembelajaran yang paling digandrungi itu adalah kitab kuning, karena dengan belajar kitab kuning merupakan kredit point (pointer credit) bagi setiap pesantren dan santrinya, ini sekaligus merupakan ke-khaasan sebuah pondok pesantren tradisional, maka tak ter-elakkan bahwa berani mondok adalah berarti berani berhadapan dengan kitab kuning.
Di alam serba modern ini, maka pembelajaran kitab kuning bagi santri adalah membutuhkan adanya inovasi baru dari semua pihak untuk berkolaborasi dengan modernisasi yang saat ini kita tengah berada di era yang dimaksud.
Ini adalah tantangan bagi pengasuh pondok pesantren tradisional terhadap perkembangan zaman khususnya era serba digital, yang pada gilirannya kitab kuning tradisional sebagaimana bercirikan khas yang kita sebutkan di atas akan tertinggalkan, mengingat inovasi tekhnologi dibidang pendidikan berbasis digital, sebagai efek malas untuk mengikuti pembelajaran ilmu alat (Nahu dan Shorof).
Kita menuju arah itu, kita tidak menafikan akan lahirnya sebuah era dimana semua pembelajaran dilakukan serba digitalisasi, semuanya akan teradopsi dalam tatanan serba digital, jika pemondokan masih bercorak tradisional yang ingin pertahankan “marwah” kitab kuning tanpa harakat, dengan meng-eja sebuah padanan “marja’ dhomir” atau diambil dari shighat mana, atau jika disebut na’at mana man’ut-nya, jika ini mudafun ilaih terus mana mudhof-nya, maka keniscayaan pembelajaran kitab kuning akan terlindas, sementara semua orang sudah bisa jadi fa’il dan maf’ul bih secara bersamaan.
Kemajuan visual di era modern ini khusus dalam serba digital, sebagai kongklusifnya, maka diharapkan kepada pengasuh pondok pesantren tradisional, agar kita sepakati untuk beradaptasi dengan digitalisasi supaya pembelajaran kitab kuning tidak ditinggal, maka diharapkan ada Inovasi baru untuk menuntun sabtri ke era digitalisasi tersebut, dengan konsentrasi penuh memahami semua ilmu alat yang dibutuhkan untuk berbicara dengan kitab gundul ataupun kitab kuning.
Tantangan Yang Perlu Inovasi ;
Inovasi dalam mengikuti alur zaman untuk sebuah hal yang disebut dengan tradisional adalah pil pahit yang harus kita telan, lalu bagaimana dengan penyebutan pondok pesantren tradisional, apakah inovasi dalam pembelajaran kitab kuning sebuah tantangan [?].
Disatu sisi iya, karena era modernisasi sudah mengandalkan serba digital dalam setiap pembelajaran, baik berupa modul-modul khusus untuk itu serta software (piranti lunak-nya) yang juga sudah dikemas agar para pelajar/siswa dan ataupun santri sudah digiring seharusnya ke arah itu, namun jika disebut tidak perlu dipandang sebagai tantangan, maka secara de facto kita juga harus siapkan sebuah piranti lunak guna menyongsong pembelajaran santri dengan modernisasi yang dimaksud.
Sebagai dasar pokok yang harus dipersiapkan itu adalah khusus dalam tingkat awal pembelajaran ilmu alat secara modernisasi, kita harus persiapkan seperangkat aplikasi dalam memahami pembelajaran kosa kata arab yang ini merupakan produk paten dari kalangan pengasuh dan pengajar pondok,
Modernisasi tidak kita tolak apalagi harus mengutuk perkembangan dan kemajuan era, namun yang terpenting adalah pihak pondok pesantren tradisional harus siapkan Inovasi guna mengikuti kemajuan tersebut tanpa mengabaikan apalagi harus melupakan predikat tradisional untuk sebuah pemondokan kita yang kita berbangga dengan Pondok Pesantren kita.[]
*) penulis adalah Raisul ‘aam Pondok Pesantren Ashabul Yamin Lasi Kabupaten Agam, Ketua FKPP Sumatera Barat, dan Ketua PCNU Kabupaten Agam.