Oleh ; Akmal Hadi *)
ANNAASU sawassiyyah (manusia itu harus punya siasat/politik), ungkapan ini seolah-olah cocoklogi bahasa arab dengan lughah (lughat) ke-arab-araban, tidak banyak yang mengetahui tentang sumber ungkapan di atas, entah itu ucapan orang ‘aalim, ntah itu kata-katanya para hukamaa‘ atau pujangga besar ratusan tahun yang lalu, sekali lagi tak ada kabar shahieh untuk menjelaskan tentang rawih-nya siapa dan sanad-nya kemana— terus terang ini tidak diketahui sama sekali.
Karena tidak diketahui asal muasalnya, maka kriteria ucapan “annaasus sawassiyyah” manusia itu harus berpolitik / siasat, tidak boleh disebut sebagai titah-nya para hukamaa‘, pendapat para wali, apalagi untuk menyebutkan sebuah risalah dan sabda nabi— dan tentu saja ini belum masuk dalam kriteria Ilmiah, karena tidak punya literasi yang jelas dalam kategori ilmiah dan risalah tertentu.
Namun karena suatu hal untuk kekinian, maka konsep ini adalah bagian dari statement yang bisa jadi sandaran/ support pemicu agar manusia dinamis serta tidak stagnan dan vakum, maka boleh juga ini dikatakan sebagai pem-beda (farq) antara manusia berperadaban dengan yang tidak berperadaban sama sekali.
Konsep ini bisa dipergunakan sebagai landasan pijak untuk mengatakan bahwa annaas (manusia) itu harus memiliki dinamika dan produktifitas yang terarah dan terukur, maka bahasa “Sawassiyyah” itu disebut dengan siasat atau berpolitik.
Ditulis oleh Delmus Puneri Salim**) dalam Aqlam ; Journal Of Islam And Plurality, Journal terbitan Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Manado, INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MANADO, Vol.1 No.1 (2016), dengan judul : “Politik Islam Dalam Al-Qur’an” (Tafsir Siyasah Surat Ali Imran Ayat 159)
Prof.Delmus menyebutkan, bahwa “Politik Islam dipahami mulai sebagai politik yang dilakukan oleh umat Islam dalam bentuk partai politik, mengagendakan Islam dalam peraturan kenegaraan sampai kepada penggunaan Islam untuk kepentingan pribadi, politik partai dan kelompok“.
Tulisan ini menggambarkan bahwa “politik Islam dalam Al-Qur’an banyak berbicara tentang nilai dan prinsip politik Islam, yang pada kajian ini membahas surat Ali Imran ayat 159 yang berkenaan dengan musyawarah“.
Disebutkan Prof.Delmus, bahwa “dengan menganalisa ayat ini dari tafsir al-Maraghi, tafsir al-Misbah dan tafsir al-Azhar, tulisan ini berargumen bahwa musyawarah merupakan salah satu nilai dan prinsip politik Islam yang dipentingkan dalam Al-Quran“
Berangkat dari apa yang disampaikan oleh prof.Delmus tersebut, maka hemat penulis juga berkenaan dengan perpolitikan kita saat ini, terutama sudah disebut sebagai perpolitikan minimalnya adalah mengedepankan azas Musyawarah dan mufakat.
Anasir terkecil untuk organisasi kecilpun, sebutlah, tatatan kelompok masyarakat dengan membangun struktur satu kesatuan, bahkan ke level tertinggi dengan organisasi besar seperti pemerintahan di negara berdaulat adalah bentuk organisasi yang mengedepankan “siyyasah (t)/ perpolitikan.
Pokok utamanya, azas musyawarah dan mufakat merupakan prasyarat utama untuk menjunjung tinggi nilai-nilai politik di tengah-tengah peradaban saat ini.
Maka ironi, ketika pemegang mandat suatu organisasi atau fungsionaris suatu lembaga dan organisasi politik tidak berbekal dengan pendidikan yang mumpuni guna melakoni arena perpolitikan yang digelutinya.
Bahkan mungkin sebaliknya mendominasi dalam politik, personal tertentu sudah “meruyak” kemana-mana bahwa individu ini adalah julukan politikus, ternyata nihil dan minus nilai-nilai pendidikan, maka keniscayaan untuk melakukan Syawirhum fiy umuriddunyakum (bermusyawarahlah kamu dengan urusan keduniaan mu) tidak akan tercapai secara “kaaffah“.
Mewakili uraian dari Pendidikan Berpolitik Versus Politik Berpendidikan adalah suatu keharusan keterpaduan untuk sinergitas tantangan yang tengah dihadapi dan diwajibkan tidak punya cela untuk mengalami “tempang sebelah” jika kita tidak ingin tertatih-tatih dengan jalan mundur peradaban perpolitikan kita.
Sejatinya, seorang politikus harus dibekali dengan pendidikan yang sempurna terutama dalam bidang akhlaq dan tatalaku agar preseden jelek tidak diarahkan untuk menyebutkan tentang “kedunguan” kita, sebagaimana istilah yang sering dipergunakan oleh Rocky Gerung dalam hampir setiap ungkapannya dihadapan publik.
Pendidikan untuk Berpolitik adalah jenjang awal sesungguhnya yang harus dimatangkan oleh setiap personal kita, tidak menjadikan Panggung politik untuk belajar dan kemudian harus mendidik diri, kendatipun kebanyakan para Politisi yang tidak “terdidik” konsentrasi kita untuk menyebutkan “akhlak” dalam banyak hal kita perhatikan.
Seyogyanya, perpaduan antara Berpendidikan untuk berpolitik akan lebih berpotensi jika dibandingkan dengan Politisi yang tidak Berpendidikan, maka satu kesatuan ini harus gabung terlebih dulu, tapi yang terpenting adalah “Berpendidikan untuk jadi politisi”, wallaahu a’laam…[]
*)Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral UIN Bukittinggi, Ketua FKPP Sumatera Barat,Ketua PCNU Kab.Agam, Alumni MTI Candung,95, dan Pimpinan PonPes Ashabul Yamin, Lasi,Agam
**)Prof.Delmus Puneri Salim, MA,M.Res, Ph.D sekarang adalah Rektor UIN Mahmud Yunus, Batusangkar.