Oleh ; Akmal Hadi,S.HI,M.Pd.Gr *)
KARAKTERISTIK santri tergantung dengan tatacara dan pola asuh para pengasuh dimasing-masing pemondokan, tak ubahnya juga bagaimana mental dan akhlak buah hati (anak-anak) kita dalam rumah kita sendiri, semuanya tergantung dengan materi ajar dan pola asuh dari asuhan mereka.
Hemat penulis, ada kesamaan tentunya dengan pola pengasuh di rumah kita masing-masing dengan pola pengasuhan di pondok, namun bedanya cukup mendominasi pengasuhan multi komplikasi-nya disebuah pemondokan, persamaannya sama-sama “mengasuh” dan “mendidik”.
Mengasuh dan mendidik sebagai orang tua terhadap Putra putrinya, mengajar dan menuntun akhlak serta adab adalah tanggungjawab sang Bapak dan Ibu terhadap buah hati masing-masingnya di rumah, jika ada kelalaian maka warning-nya dari si pengasuh dan pendidik bisa dengan tindakan pencegahan, dan tak juga jarang ada emosional yang tak terkendali, dengan cara “main body” misalnya, — pengasuhan di pondok justeru sebaliknya berbanding lurus dalam penindakan, pola pengasuhan selalu persuasif dan ajakan.
Hak peto pengasuh pondok hanya sebatas mau’ishotul rahmah, persuasif dan ajakan dalam bentuk suri tauladan, keterbatasan pola pengasuhan di pondok tidak serta merta leluasa dengan main body, pondok tak membiasakan hal yang demikian.
Perbedaan pola pengasuhan dipondok hanya sebatas “ajakan”, jika sang anak abai ya sudah, sebatas itulah pola asuhan, hanya saja kompleksitas pengasuhan inclaude pendidikan dan pembelajaran.
Puluhan bahkan sampai ribuan santri yang diasuh dari latar belakang basic pendidikan karakter lingkungan di luar pondok dan ditambah lagi cerminan pengasuhan pada masa-masa memasuki gerbang remaja dari rumah masing-masing adalah suatu tantangan yang dihadapi oleh para pengasuh di pemondokan, tentu saja berasal dari ratusan bahkan ribuan juga karakteristik orang tua dan latar belakang pendidikan orang tuanya dirumah.
Pengasuhan di pondok adalah multi komplik-nya pola pengasuhan terhadap santri yang berbeda nasab dan lingkungan rumah, akibatnya pada fase 2 (dua) tahun pertama di pemondokan adalah pengenalan pemondokan sekaligus pengenalan individu masing-masing santri, amat rumit dan serba pluralis namun sekali lagi ini adalah tantangan hebat oleh pengasuh pondok pesantren, terlebih lagi jika pemondokan menerapkan full boarding school (asrama), karakteristik heterogen multi majemuk adalah masing-masing sifat anak yang untuk diseragamkan satu sama lain.
Pasca dua tahun pembelajaran karakteristik santri di pemondokan, keniscayaan perubahan drastis akan dipetik oleh masing-masing orang tua pada pasca pengasuhan dipondok rentang masa dua tahun “penggamblengan” sebagai santri.
Tak hayal, jika orang tua santri yang tak terbiasa dengan pola pengasuhan pondok, menganggap bahwa perilaku anaknya usai pemondokan dua tahun mengalami perubahan dari sisi positif, dan tak jarang juga sang anak meminta agar dijadikan “panutan” juga oleh lingkungannya terutama keluarganya, hal ini tentu saja sebuah perubahan ke arah positif yang merupakan buah manis dari hasil pemondokan, kita sebut sebuah out put pemondokan 2-4 semester, terus bagaimana dengan 12 semester pemondokan (6 tahun durasi waktu pondok), hasil yang diharapkan tentu saja tidak kepalang tanggung, harapan tentu semuanya begitu.
Untuk para pengasuh, sejatinya keinginan perubahan akhlak, adab, cara ibadah dan lain sebagainya yang merupakan dambaan yang diimpikan oleh setiap wali santri sebuah a-sa penuh yang diinginkan semua wali santri dari hasil penggamblengan pondok, maka tak terelakkan dan bahkan suatu kewajiban tugas pengasuh pondok di pesantren itu adalah multi komplik.
Kita (Pengasuh), harus nyadar, bahwa selain kita guru “ngaji” santri tempat diserahkannya buah hati mereka di pemondokan sekaligus kita itu adalah ; bahwa pengasuh itu juga guru iya, panutan iya, suri tauladan apalagi, semuanya beban pengasuhan yang sepatutnya diberikan tauladan yang baik terhadap anak asuh pemondokan.
Ini tugas mulia, memasuki fase remaja (pubertas/ panca robah), peningkatan dari status mumayyis ke “baailghun ‘aaqilun” bagi anak-anak yang punya orang tua dimasing-masing kampung, pemondokan adalah tempat “tempahan” mereka untuk menjadikan mereka anak yang berakhlak dan berilmu, “kita” sekali lagi “KITA” pengasuh adalah Uswatun Hasanah mereka di pemondokan setelah diserahkan oleh kedua orang tua maupun wali mereka untuk ikut “mondok”.
Out Put dan Pola Asuh
Kecendrungan untuk antar putra putrinya masuk “mondok” oleh orang tua santri adalah hasil pemondokan yang diharapkan wind of change untuk menata akhlak para anak menuju masa depan yang cemerlang untuk generasi mendatang, sebagai ujud “maa qaddamat lighad” atau antisipasi terhadap “….min khalfihim dzurriyyat dhi’aafa..”, ini pasti, tujuan ikhlas wali santri.
Kesiapan para pengasuh adalah sebuah tantangan yang harus dijawab mengingat niat tulus orang tua santri sebagaimana kekhawatiran terhadap meninggalkan anak cucu yang lemah kemudian hari.
Pengasuh dalam tugas pengasuhan wajib siap “laa budda”, tidak dapat tidak, harus wajib siap, ketika santri sebagai anak asuh dipersiapkan untuk pembawa akhlaaqul mahmudah.
Maka tak lebih kurang, bahkan wajib penuh, akhlaq mulia yang harus dipertontonkan itu terlebih dahulu hadirnya dari pengasuh pondok sebelum di-suap-kan ke santri.
Pembekalan tauladanisasi untuk meng-charger anak asuh akan lebih mumpuni jika para pengasuh pondok lebih up date dan upgrade secara ilmiah dan lebih memahami secara kejiwaan dalam melakukan pembinaan, pembelajaran dan pengasuhan.
Upgrade pola asuh serta up date-nya ilmu yang dimiliki oleh pengasuh dari segala lini, akan menyajikan kepuasan materi “tiru” oleh santri sebagai bekal pemenuhan hajat karakteristik yang mulia dan bermartabat.
Wallaahua’laam []
*) Penulis adalah Raaisul ‘Aam Pondok Pesantren Ashabul Yamin Lasi Kabupaten Agam, dan Ketua PCNU Kabupaten Agam.