Oleh ; Akmal Hadi,S.HI,Gr,M.Pd*)
BUKAN hanya dari sekarang, bahkan sudah semenjak lama untuk menyebutkan bahwa Pondok Pesantren adalah suatu cara untuk mendidik dan menggambleng santri dalam membina dan membentuk karakternya agar jadi orang mandiri dan berusaha tanpa mengeluh, dan akhirnya dibuktikanlah bahwa pondok Pesantren itu tempat menjadikan alumninya enterpreneur yang ber-evolusi dari hari ke hari ,dari bulan ke satu semester, dan sampai lah di ujung masa akhir pendidikan sekarang disebut dengan wisuda, tapi untuk kebanyakan pondok pesantren masa akhir di Pondok itu disebut dengan “Pra Ijazah” atau Perayaan pemberian Ijazah, bukan menyebutkan dengan “wisuda”.
Cuma saja, karena alumni Pondok Pesantren seringkali melanjutkan pendidikan tinggi yang bersifat lineir dengan ilmu pondoknya, seperti masuk ke PTA (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), karena bersifat lineir-nya memang begitu, padahal untuk berlanjut ke perguruan tinggi konvensional sekalipun (sebut perguruan tinggi Umum misalnya), tidak ada yang menghalanginya dan tidak merupakan akbaarul kabaair (dosa besar), karena alumni Pondok Pesantren biasanya sudah punya karakteristik siap tempur untuk seluruh lini peradaban yang akan dihadapinya, dan tak heran, alumni pondok pesantren bisa tumbuh subur dan berkembang diberbagai arena permainan “khazanah ilmu” dan berkiprah di lapangan bebas dengan berbagai skill yang mereka miliki tanpa hambatan sama sekali.
Enterpreneur untuk bahasa sekarang, adalah sebuah sebutan bagi Gen-Z, mungkin untuk yang meng-klaim dirinya sebagai Generasi Terakhir (Gen-Z), adalah Para Pengusaha sukses dengan mandiri tanpa secuil keluhan yang mereka dengarkan— tentu saja ini tergantung kepada hobi dan cita-cita yang mereka inginkan dan hendak dituju-nya sesuai watak bawaan.
Mengingat dan ternyata kearifan lokal pondok pesantren dengan pola mandiri yang ditanamkan, begitu berstatus “boarding school“, atau penempatan “ber-asrama”, maka perbedaan nya akan terlihat jelas jika melihat kepada konsep Indekost/kos—apatah lagi jika penempatan “pemondokan” ternyata masih berada dipangkuan kedua orang tua, maka perbedaan signifikan akan terlihat jauh, jika berbanding “boarding school” untuk santri golongan Elit Ekonomi, dengan “Pemondokan Asrama”, —-kenapa tidak, ya karena semuanya melihat dari pola mandiri asrama akan berbeda dengan konsep boarding school yang sesungguhnya, untuk kalangan tertentu dan meskipun arti sesungguhnya boarding school adalah “peng-asramaan” juga.
Perbedaan antara keduanya (boarding school Vs Asrama Pondok) itu sangat jauh, jika merujuk kepada konsep awal di-gaung-kan-nya “Boarding School”.
Identiklah sebutan “Boarding School” dengan; “Santri/siswa” diasramakan dan hanya bertugas belajar, menghafal, mencuci pakaian, dan jika makan sudah tersedia tinggal menunggu schedule makan secara serentak”, maka hal ini akan berbeda banyak dengan sebutan “Pemondok/Asrama”, jika melihat konsep awal “Pemondokan/Asrama”; Semuanya secara include ; adalah schedule rutin santri pondok, masak, sendiri, makan sendiri, menghafal dan muraja’ah dengan ustad/ guru asrama.
Perbedaannya sekalipun hanya sebatas “antara masak makan sendiri” versus “masak makan dijadwalkan pengasuh boarding School”—- dan meskipun hanya “sebatas” itu, tapi kredit poin (pointer credits-nya) sangat jelas dengan serba sendiri daripada setengah-setengah tetap sendiri.
Output antara kedua yang hampir sama pola “pemondokan” itu akan berbeda hasilnya, Boarding School vs Pemondokan Asrama—- jangan kita mempersamakan antara kedua, tapi fakta penyebutan kedua konsep “Boarding School” dengan “Tinggal di Asrama kan” selalu dianggap sinonim oleh kebanyakan orang—-karena “Penggiat Pondok” identik dengan “Asrama” dan Boarding School identik dengan Modernisasi namun minta disamakan sebutan kedua hal tersebut.
Penggiat Pondok natural akan merasa alergi dengan sebutan Santri Pondok-nya dengan Pemondokan “Boarding School” , namun konsep klasik Pemondokan bagi Naturalism “Pemondokan” disebut dengan Asrama, tidak menyebut dengan istilah “Boarding School”.
Nah, pembahasan yang bersifat “Khaas” (khusus) dalam tulisan ini adalah dengan konsep “Pemondokan Santri Ber-asrama” tidak sama engan “Boarding School” kekinian.
Kolaborasi antara pemahaman penulis dengan tetap pada sebutan “Pemondokan” adalah “Asrama” bukan yang lainnya, maka konsentrasi full penulis adalah “Enterpreneur Sukses adalah cikal bakal lahirnya dari santri pondok yang berdomisili di Asrama dengan pola full kemandirian penghuni Pondok dengan konsep full mandiri dan bertanggung jawab”.
Dari hasil penelitian penulis, terhadap banyak Pemondok Santri terutama pemondokan klasik bukan Pemondok modern (sebut berbasis Boarding School), kita akan konsentrasi dengan Pemondokan klasik yang berjibaku dan Istiqomah dengan pemahaman ahlussunah waljamaah, adalah sebuah ikhtishar bahwa di pemondokan santri “ber-asrama” jauh lebih tertanam konsep mandiri dan berdikari.
Maka tak ayal, ketika alumni hasil pemondokan asrama jauh lebih sukses dengan usaha mandiri dan berdikari-nya ketika jadi pengusaha (baca; jika tidak bekerja di institusi pemerintahan), hal ini disebabkan karena terapi yang dijalani pada fase pemondokan berbuah dan punya hasil yang manis.
Tak bertujuan mendiskreditkan bentuk dan pola pemondokan lain selain dari “pemondokan asrama klasik”, justeru ini sebuah cambuk untuk mengakui sesungguhnya bahwa Pemondokan Asrama klasik akan punya natijah tersendiri tentang kemandirian alumni-nya dibanding boarding school, sehingga pengusaha yang berbasis Syar’i yang ada saat ini, terpantau bahwa kebanyakan mereka berlatarbelakang pendidikan “pondok” minimal pernah di-gambleng disebuah pemondokan Ber-asrama a-la klasik[]
*). penulis adalah Magister Program Pasca Sarjana UIN Bukittinggi, dan Ketua FKPP Sumatera Barat, Yang Saat ini Menjabat Sebagai Pimpinan Pondok Pesantren Ashabul Yamin,Lasi-Agam.