Oleh : Akmal Hadi *)
ANDAIKAN hari ini adalah tanggal pencoblosan yang dinanti-nanti untuk pemilih pemimpin daerah disemua tingkatan itu, ya, hari ini tanggal 27 November 2024 misalnya, ribuan warga dari seluruh pelosok Nusantara datangi tempat pemungutan suara (TPS) masing-masing di daerahnya dan berikan hak konstitusinya sebagai konstituen yang didaulat undang-undang dan selanjutnya Quick Count, surveyer berbayar atau simpatisan peramal cepat (teller count), ataupun pemuja “takok-takok manggi” dan tatakok manggih anam, alhasil 75,15 persen Petahana tersingkir, maka tampilah wajah baru kepala daerah di provinsi, kabupaten maupun kota itu.
Background sang pemimpin baru itu bisa bervariasi, dari kalangan pengusaha, politisi kutu loncat, politisi karatan, pamong purna tugas, ataupun hanya sekadar iseng dan raih perolehan suara signifikan “meroket” yang unggul dari kandidat lain, bahkan petahana digilas habis, maka tamatlah petahana.
Ternyata, berselang beberapa pekan pasca usai pilkada, sang winner diambil sumpah jabatan, dilantik sesuai tingkatan masing-masingnya, dan meskipun pada durasi tertentu sang pemenang tidak boleh gelar mutasi dan rotasi, maka dipastikan sang pemenang sudah punya trik tersendiri tentang siapa dan dimana posisi tepat untuk eselon kepercayaan, namun terkesan “tabu” untuk dilakukan.
Pembisik pemenang sudah barang tentu punya kans untuk berbisik kepada kepala daerah yang baru, peng-kebirian dan pengkerdilan jabatan akan ditemui, itu ada pada paruh awal pasca pelantikan kepala daerah baru, yang pastinya mutasi dan rotasi dengan berbagai alasan bakal terjadi.
Blunder jabatan karena pengaruh hubungan jauh dekat sangat mendominasi pikiran kada yang baru, berkecamuklah antara profesional sang pemegang eselon dengan kondisi nepotisme yang kangkangi proporsional dan profesional, namanya saja kebijakan pimpinan, apalah daya.
“Quo vadis” inilah pertanyaan berikutnya untuk sang Petahana yang gagal menuju singgasana kepemimpinan di daerahnya, konsep “lanjutkan” dan icon kita “sudahi yang terbengkalai” pupus sudah, yang muda energik masih bisalah untuk berkiprah atau melanjutkan kerja di rumah atau bisa balik ke rantau, politisi tetap konsisten dengan karier politik-nya.
Tunggu dulu guys…!!!
Ternyata petahana gagal bukan tidak berarti sama sekali, justru ini masih banyak peluang untuk dibutuhkan dan sangat diperlukan ternyata, pertanyaannya yang simple dengan “Quo Vadis” [?]
Quo vadis adalah istilah Santo Petrus ketika melarikan diri dari Roma selama penindasan terhadap orang-orang Kristen di bawah Kaisar Nero, yang ditanyakan oleh Petrus saat kembali ke habitat awalnya adalah dengan ungkapan “Domine Quo Vadis” (Tuhan, kemana engkau pergi) , sambil Santo Petrus usap matanya dengan kedua telapak tangannya.
Pertanyaan yang sama juga akan ditanyakan oleh pendukung dan loyalis petahana kepada “jagoan” tumbangnya, namun tidak didahului oleh “Domine…”, melainkan “,Sir…Quo Vadis…?” ; Tuan… Kemana Engkau Akan Pergi…?’
Tuan-nya, tergagap, dan terlihat “linglung” ketika ditanya, karena luka memar yang tak terlihat, akibat disayat diasami oleh “Pecundang”, meskipun tidak terlihat menganga, dengan terbata-bata sang Tuan Petahana menjawab;
“Mau ke Mahkamah….”
Atau bisa jadi menunggu undangan dari K*P, ataupun bisa jadi menunggu yang lainnya untuk datang, mungkin saja “seragam coklat” adiyaksa, maupun institusi lainnya.
Quo Vadis…[?], ya…kita menunggu undangan dan pemanggilan, moga tidak suul khootimah.Wallaahu a’laam[]
*)Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral UIN Bukittinggi, Ketua FKPP Sumatera Barat,Ketua PCNU Kab.Agam, Alumni MTI Candung,95, dan Pimpinan PonPes Ashabul Yamin, Lasi,Agam