Oleh Dr. Charles, M.Pd.I.
HASIL studi Global Flourishing Study yang dilakukan Universitas Harvard dan dimuat dalam Nature Mental Health baru-baru ini menyebut Indonesia sebagai negara dengan tingkat flourishing tertinggi di dunia, dan Skor kita berada pada angka 8,3—mengungguli negara-negara maju seperti Amerika Serikat (peringkat 12) dan Inggris (peringkat 20).
Fakta ini tidak hanya mengejutkan, tetapi juga menginspirasi.
Namun, pertanyaan penting yang mesti kita ajukan adalah: Apa makna dari pencapaian ini
bagi masa depan Indonesia?
Flourishing: Ukuran yang Lebih Utuh dari Sekadar GDP Flourishing tidak hanya diukur dari kekayaan atau pendapatan per kapita, Ia mencakup
dimensi kebahagiaan, makna hidup, kesehatan mental, spiritualitas, dan relasi sosial.
Dan di sinilah kemudian Indonesia bersinar.
Kuatnya relasi sosial dan nilai-nilai gotong royong menjadi aset sosial yang tidak dimiliki banyak bangsa lain, Spirit keagamaan, kekeluargaan, dan solidaritas di tengah keterbatasan menjadi energi kolektif yang membuat masyarakat Indonesia tetap bertahan, bahkan
berkembang, di tengah krisis global.
Namun tentu kita tidak boleh berpuas diri.

Flourishing adalah gambaran potensi—bukan
jaminan masa depan, Potensi ini bisa layu jika tak dirawat dengan baik, optimisme ini harus
dikawal dengan aksi nyata dan kebijakan publik yang tepat sasaran.
Tantangan: Ketimpangan dan Krisis Makna di Era Digital
Studi Harvard juga mencatat bahwa negara maju cenderung unggul dalam aspek keamanan
finansial, tetapi kalah dalam hal makna hidup dan hubungan sosial. Ironisnya, jika Indonesia
tak berhati-hati, arah pembangunan kita bisa tergelincir ke jebakan yang sama.
Arus digitalisasi dan kapitalisme yang tak terkendali berpotensi menggerus nilai-nilai luhur
yang menjadi kekuatan kita, Ketika anak muda lebih sibuk dengan pencitraan media sosial
ketimbang membangun relasi nyata, saat itulah kita mulai kehilangan akar flourishing sejati.
Maka pembangunan yang kita dorong tidak cukup hanya soal infrastruktur fisik, melainkan
juga infrastruktur sosial dan spiritual.
Solusi: Pendidikan Karakter dan Ekosistem Sosial yang Sehat
Momentum ini harus dimanfaatkan untuk merevolusi pendidikan dan kebijakan sosial.
Sekolah dan kampus harus menjadi ruang pembentukan karakter—bukan sekadar pabrik
nilai akademik, Pendidikan yang berisi padat tentang keagamaan harus menanamkan kesadaran akan makna hidup, kasih
sayang, dan tanggung jawab sosial.
Di sisi lain, pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan pembangunan tidak
mengorbankan kohesi sosial. Investasi dalam komunitas, ruang publik, kegiatan lintas
generasi, dan penguatan keluarga adalah strategi kunci agar optimisme tidak menjadi
fatamorgana.
Menjadi Model Dunia
Jika Indonesia mampu memadukan spiritualitas, solidaritas, dan kesejahteraan dalam satu
napas kebangsaan, maka kita tak hanya akan menjadi bangsa yang di atas
kertas, tetapi juga pelita bagi dunia.
Dunia yang sedang dihantui krisis makna, kesepian, dan fragmentasi sosial sedang menanti
model baru pembangunan manusia. Dan barangkali, jawabannya datang dari negeri bernama INDONESIA []
*). Dr. Charles, M.Pd.I. adalah dosen UIN Bukittinggi dan peneliti bidang Pendidikan Islam.