Oleh: Dr. Charles, M.Pd.I
(Senator dan Dosen Tetap Pasca UIN Bukittinggi]
PERNYATAAN Bill Gates bahwa dalam waktu sepuluh tahun ke depan profesi guru dan dokter dapat digantikan oleh Artificial Intelligence/ kecerdasan buatan ( disebut dengan Al) menimbulkan berbagai respons dari kalangan pendidik, psikolog, dan budayawan, Meski kemajuan teknologi digital, termasuk Al, tidak terbantahkan, namun perlu disadari bahwa substansi pekerjaan guru tidak sekadar menyampaikan informasi atau materi ajar, melainkan menyentuh aspek kemanusiaan yang dalam-yakni membentuk karakter, membimbing jiwa, dan menanamkan nilai kehidupan.
Di sinilah letak pentingnya soft skill seorang guru, yang tidak bisa digantikan oleh mesin secanggih apapun, Pendidikan tidak hanya mengandalkan hard skill, seperti kemampuan menjelaskan konsep, menyusun kurikulum, atau mengevaluasi hasil belajar.
Lebih dari itu, pendidikan adalah proses mendampingi manusia tumbuh secara utuh, baik secara intelektual, emosional, maupun moral.
John Dewey (1859-1952), seorang tokoh pendidikan progresif, menegaskan bahwa pendidikan adalah proses pengalaman hidup yang terus berkembang, Dalam perspektif ini, guru berperan sebagai fasilitator kehidupan, bukan sekadar penyampai informasi. Maka, ketika interaksi pembelajaran diambil alih oleh mesin, kehilangan dimensi kemanusiaan menjadi ancaman serius. Al tidak memiliki empati, intuisi, atau kepekaan emosional.

Padahal menurut Erik Erikson, perkembangan psikososial anak sangat bergantung pada dukungan sosial dan emosional yang diberikan oleh orang dewasa, termasuk guru. Seorang murid yang sedang mengalami tekanan di rumah, kecemasan sosial, atau kehilangan motivasi, tidak bisa ditolong hanya dengan algoritma atau chatbot. Ia membutuhkan sosok manusia yang mampu memahami, mendengar, dan menguatkan.
Hal ini juga sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara, pendiri pendidikan nasional Indonesia, yang menyatakan bahwa guru harus mampu menjadi panutan, pengayom, dan pembimbing.
Pendidikan adalah proses penuntunan jiwa, bukan sekadar pengisian otak, dalam perspektif Islam, pendidikan disebut sebagai proses tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dan ta’lim (pengajaran ilmu). Kedua aspek ini harus berjalan seimbang, Al-Ghazali, dalam karya-karyanya, menekankan bahwa ilmu yang tidak dibimbing oleh akhlak bisa menyesatkan. Maka, guru tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga pendidik akhlak dan pembimbing ruhani.
Peran ini sangat manusiawi dan personal, dan tidak dapat digantikan oleh Al. Demikian pula M. Quraish Shihab, seorang cendekiawan Muslim Indonesia, menegaskan bahwa nilai-nilai seperti kasih sayang, keadilan, dan ketulusan harus menjadi ruh dari proses pembelajaran dan Ini semua adalah ekspresi soft skill guru yang tidak bisa diotomatisasi oleh mesin. Penting untuk dicatat bahwa Al tetap memiliki manfaat besar dalam pendidikan– la dapat membantu guru dalam mengelola data belajar, menyediakan sumber pembelajaran interaktif, bahkan mempermudah proses asesmen.
Namun, posisi Al seharusnya ditempatkan sebagai alat bantu, bukan pengganti guru, Manusia mendidik manusia, dan relasi ini tidak dapat direduksi menjadi sekadar interaksi antara pengguna dan mesin.
Pendidikan bukanlah pabrik informasi, melainkan ladang pembentukan peradaban, Guru adalah penanam nilai, penyala semangat, dan penjaga integritas moral generasi masa depan, Maka, ketika kita berbicara tentang masa depan pendidikan, mari kita pastikan bahwa teknologi memperkuat peran guru, bukan menggantikannya, Karena soft skill yang lahir dari nurani manusia tidak bisa direplikasi oleh kode dan algoritma[]