Oleh: Dr. Charles, M.Pd.I.*)
TRAGEDI memilukan kembali mencoreng dunia pendidikan kita, di Padang Pariaman, seorang siswi SD, Aldelia Rahma (11), meregang nyawa setelah dibakar oleh temannya di lingkungan sekolah pada 23 Februari,2023 lalu **), Dua guru pun ditetapkan sebagai tersangka karena lalai mengawasi. Tak berselang lama, kasus serupa muncul di Situbondo, Jawa Timur,dikutip dari suara Surabaya Net, Kamis 15 Mei,2025 sebagaimana dilansir dari Antara pada Rabu (14/5/2025) dini hari, peristiwa terbakarnya korban terjadi di depan rumah salah satu dari empat teman korban pada Senin (12/5/2025), Seorang anak SD dibakar oleh empat temannya di depan rumah salah satu dari mereka.
Dua peristiwa memilukan ini bukan sekadar kriminalitas anak, tapi jeritan sunyi dari sistem pendidikan dan kwalitas empati sosial kita yang kian rapuh.
Kekerasan di Usia Dini: Gejala Apa Ini?
Dari sudut pandang psikologi, perilaku membakar teman bukanlah kenakalan biasa, Itu ekspresi kekerasan ekstrem yang menunjukkan lemahnya empati, kendali diri, dan pendidikan moral. Anak-anak bukan penjahat alami; mereka adalah hasil bentukan lingkungan, bila keluarga abai, sekolah tidak mendidik hati, dan masyarakat pasif, maka nilai-nilai kemanusiaan pada anak pun tumpul.
Perilaku agresif adalah gejala dari luka-luka psikologis yang tersembunyi—entah dari kekerasan di rumah, tontonan penuh kebencian, atau hilangnya teladan moral dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan formal tak cukup hanya mengisi otak dengan ilmu, tetapi juga harus menyentuh hati dengan nilai dan kasih sayang.
Pendidikan Islam: Bukan Sekadar Kurikulum
Islam menekankan bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan akhlak, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).

Dalam konteks ini, pendidikan Islam bukan hanya pelajaran agama 2 jam seminggu, tetapi pembiasaan nilai-nilai kasih, empati, dan tanggung jawab sosial dalam keseharian.
Sayangnya, di banyak sekolah kita, pendidikan agama hanya bersifat kognitif, Ia kehilangan daya sentuh ruhani yang dapat membentuk karakter — Guru pun lebih banyak menjadi penyampai materi, bukan pembina akhlak, Ketika guru tidak hadir secara emosional dan spiritual, ketika sekolah tidak menjadi rumah kedua yang aman dan membina, tragedi pun mengintai.
Tanggung Jawab Kolektif
Kita tidak bisa hanya menyalahkan anak-anak, apalagi menghakimi mereka seolah-olah mereka adalah pelaku kejahatan dewasa, Tanggung jawab moral justru ada pada orang dewasa: orang tua, guru, dan pengambil kebijakan — Orang tua harus hadir, bukan hanya secara fisik, tetapi juga batin, Guru harus menjadi figur teladan, bukan sekadar pengawas kelas, Dan sekaligus secara bersamaan bahwa negara harus menyusun kebijakan pendidikan yang berpihak pada pembinaan karakter, bukan sekadar mengejar capaian akademik.
Kasus ini adalah alarm (warning) keras bagi dunia pendidikan kita, Kita harus bergerak cepat memperkuat kurikulum berbasis karakter, memberikan pelatihan kepekaan emosional dan spiritual kepada guru, serta membangun sistem sekolah yang ramah anak dan penuh cinta.
Menata Ulang Arah Pendidikan
Sudah saatnya kita kembali menempatkan pendidikan sebagai jalan membentuk manusia seutuhnya—yang berpikir jernih, merasa dalam, dan bertindak bijak. Pendidikan Islam dan nilai-nilai kemanusiaan universal harus berjalan beriringan, bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai inti dari sistem pendidikan.
Tragedi ini harus menjadi titik balik, Jika kita tetap mengabaikan pendidikan akhlak dan psikologi anak, kita akan terus menyaksikan generasi yang tumbuh tanpa nurani, Dan bila nurani hilang, tak ada yang tersisa dari kemanusiaan kita[]
*). Dr. Charles, M.Pd.I. adalah dosen dan peneliti bidang Pendidikan Islam
**) sumber :metro_tv;26 Mei,2024