Gambar Ilustrasi.
Oleh : Akmal Hadi,S.HI,M.Pd,GR *)
KARAKTER dan tabi’at seseorang dilihat lahir dari pincuran mana dan output jebolan pemondokan atau lembaga pendidikan konvensional… disiplin ilmu yang digeluti dan ditekuni sesorang, sebagai siswa bagi sekolah Konvensional atau disebut Santri bagi madrasah, status guru bagi konvensional ataupun sebutan kiyai / ustadz untuk kalangan pesantren, semuanya akan punya out put dan beda hasil terhadap kader atau lulusan dari sekolah yang tentunya juga berbeda.
Tidak bermaksud dikotomi terhadap lembaga pendidikan kita justeru kita memuliakan semua majelis pendidikan namun karena klaster beda dan tentu saja out put yang diharapkan akan berbeda pada moment yang juga berbeda.
Sebuah illustrasi, kita mengenal pasar tradisional. bukan (?), ataupun istilah sekarang “diperkampungan”, kita sebutlah, di Sumatera Barat sering kita mengenal Pasar Serikat C (artinya pasar yang dimiliki oleh 2 atau lebih masyarakat adat yang berbeda namun tetap berada pada tatanan adat Salingka Nagari), maksudnya begini, pasar Tradisional “Balai Kampuang” akan berbeda prosessing jual beli dengan kondisi pasar pasca tradisional, dan kita belum menyebut Pasar Modern, melainkan baru tahap melangkah ke pasar semi modern, atau kita sebut pra modern, akan berbeda dalam cara transaksinya.

Sistimatis transaksi yang hilir mudik pada objek tersebut akan berbeda jauh dari situasi yang diinginkan oleh warga perkampungan, karena disaat warga perkotaan ber-transaksi di pasar tradisional juga akan mengalami takjub terhadap tata kelola transaksi di tempat yang dimaksud.
Keduanya mengasyikan, keduanya dibutuhkan, antara pasar Tradisional dan Pasar Modern sama dibutuhkan sepadan dengan typical konsumen antara dua objek tersebut, yang membutuhkan tentu saja sesuai dengan selera masing-masing.
Emak-emak penjual “Katupek” yang di-kuah-i gulai nangka plus rebung, ataupun labu siam dan berbagai campuran lainnya, tidak mau disebut sebagai pedagang sate, karena yang mereka jual adalah katupek gulai, dan atau sebaliknya orang jualan “Katupek’ dengan lauk berupa daging tusuk (sate) tidak mau disebut sebagai “Penjual Katupek” tapi harus disebut sebagai “Penjual Sate”.
Ini terkait Gengsi dan Performance, dan kita tidak sebutkan dikotomi lagi, bahwa ini masalah penyebutan Cassing semata.
Dulu, suatu pengkaderan, yang diadakan oleh organisasi ekstra kampus,waktu saya masih berstatus mahasiswa strata satu (S-1), pengalaman yang tidak mau disebutkan sebagai diskriminasi dan dikotomi terhadap mahasiswa seusia saya adalah pertanyaan seperti ; “Ini kader jebolan mana”, alumni Intermadiate (sebutan untuk LK-2) dari kantor Badko mana ?, biasanya ini akan jadi rujukan terkait Sang Kader alumni berasal dari Badko ( badan koordinasi) mana.
Hal ini bertujuan untuk men- gklasifikasi sang Kader, punva “titah pemikiran” tokoh Nasional dari kelas apa, alumni perguruan tinggi terkenal atau tidak, dan sang tokoh yang jadi mentor di pengkaderan adalah seorang politisi kawakan dan akademisi hebat serta intelektual dan aktivis tidak setengah matang atau sebaliknya, tujuannya “sepele”, tak lebih dari menakar “Isi Kepala” sang Kader.
Baromater hebat sang Kader, ketika Intermediate Training (LK-2) Sang Kader berada di lingkungan Badko Seputaran Pulan Jawa, karena pemateri adalah orang lingkungan elit, dan diasumsikan karena berada dipusaran praktisi dan analis jempolan, maka akan sengat berbeda karaker ilmu yang diperdapat oleh sang Kader jika proses LK-2 nya ada di Sumatera, misalnya begitu, padahal narasumber pada objek yang disebutkan berasal dari orang kampung juga, namun karena posisi, sang Nara Sumber bergelut di pusat Ibukota, tak lebih dari itu.
Alumni Tekhnik Kimia misalnya akan merasa hebat ketika yang bersangkutan berbicara dihadapan alumni Tekhnik Sipil, dan begitu sebaliknya, dan meskipun kita meyakini, bahwa semuanya tergantung dari poros darimana kita memandangnya.
Sebagai Mahasiswa belum ke tingkat akademisi, dan cenderung berpikiran balıwa solusi alternatif penggamblengan individu untuk lahirkan insan cendikia serta berwawasan masa depan adalah proses pendidikan pemondokan yang sering kita kenal dengan pola “sebermula…”, atau kita yang tak pernah kenal dengan Zaidun namun selalu ghibahan dengan Zaidun, maupun Umar, dan Zainab, tak bermaksud diskriminasi terhadap lembaga pendidikan konvensional dan atau pemondokan secara modern di Tanah Air ini.
Kita merasakan out put dari Pemondokan adalah yang saat ini kita kenyam dan kita nikmati, karena para mursyid, muddaris dengan basis Pemondokan yang lebih awal mengenal dengan istilah “Baa lah Sebermula….”.
Mengakhiri tulisan ini, meskipun harus dan perlu untuk dilakukan mudzakarah lanjutan tulisan ini, minimal untuk melakukan akuisasi, bahwa Pemondokan (pendidikan pondok) adalah Solusi terbaik di Era ini untuk Penggamblengan agar para dzurriyyat kita nantinya jadi kader kepercayaan ummat, insyaallah.
Wallaahua’laam []
*) penulis adalah Raaisul ‘aam Pondok Pesantren Ashabul Yamin Lasi, dan Ketua PCNU Agam.