Oleh ; Akmal Hadi *)
NEGOSIASI yang tidak tercapai sebenarnya waktu itu, plus lost control sesungguhnya, namun semuanya bisa teratasi dengan super lugas, tegas, tepat, akurat dan paling terpercaya dari lisan seorang al- Amin, meskipun terlihat kepanikan memuncak bagi kedua belahpihak, tapi kepanikan itu justeru lebih dominan dipihak kaum Quraisy, ketimbang yang dialami oleh kaum muslimin di bawah imam kabir umat Mukminiin.
Tempus-nya, 14 abad silam sebelum hijrah-nya Baginda junjungan umat muslim se-dunia dan akhirat ke Madinah bersama sahabat-sahabat loyalis berkemampuan ekstra tinggi untuk sebuah bangkitnya peradaban berke-Tuhanan pasca stagnan-nya umat sepeninggal nabiyullaah Isa ‘alaihissalaam ba’da ” rafa’ahullâhu ilaîh, wa kânallâhu ‘azîzan ḫakîmâ (Qs.3 :158).
Dijazirah Arab, terkhusus tempat kelahiran junjungan yang mulia itu (kota Mekkah), putra Abdullah itu dilahirkan disana, disebut dengan tahun gajah, karena tidak ada pedoman yang jelas tentang kelahiran beliau, dan meskipun 12 Rabiul awal tersebut dalam riwayat yang dipatenkan oleh pendahulu kita.
Disini fenomena alam kota Mekkah khusus di lingkungan kaum Quraisy, kekhawatiran mencekam manakala terkalahkan lebih kurang 13 tahun masa ke-nabian beliau di kota Mekkah, seiring itu pula kecemasan bagi kaum Quraisy jika tenggelam-nya ajaran para leluhur mereka, dan meskipun dalam konteks keislaman, bahwa masa ke-Nabian baginda kita di kota Mekkah, agama dan keyakinan leluhur nenek moyang beliau adalah penyembah berhala.
Maka efek domino atas kecemasan tersebut, disaat kejujuran luhur akhlak dari Baginda Nabi, membuat semakin tergerusnya kepercayaan masyarakat Quraisy terhadap agama leluhur, dan kaum Quraisy itu membuat suatu perikatan yang diakui secara sepihak guna memohon kepada Baginda dan pengikutnya agar saling toleran terhadap perbedaan kepercayaan yang dianut masing-masing golongan tersebut.
Disebutkan, bahwa Quraisy meminta kepada Muhammad Rasul Allaah dan pengikutnya agar implementasi dari toleran itu adalah, saling menyembah tuhan masing-masingnya secara bergantian oleh dua golongan yang berbanding lurus terbalik.
Intinya, keinginan Quraisy agar pengikut nabi Muhammad beserta Rasulullah itu ikut menyembah tuhan (berhala) mereka, dan sebaliknya kaum Quraisy juga bersedia menyembah Tuhannya Muhammad beserta pengikutnya.
Ini hanya itikad sekaligus statement pihak yang sudah dikalahkan jika diibaratkan dalam sebuah permainan dan diplomasi hukum beragama dan meskipun pada waktu itu merupakan sebagai suaka politik kepercayaan, sebagian kecil pengikut rasulullah ada yang “tertarik” dengan ajakan demikian dari kaum bangsawan, Namun Rasulullah tetap tegar dan Istiqomah.
Guna menguatkan tekad batu yang membaja tersebut, Rasulullah diberikan suatu hadiah sekaligus untuk menjadikan tathma’innal quluub bagi para pengikutnya, maka Allaah kontan turunkan wahyu-Nya, dam akhirnya kita kenal dengan Surat al-Kaafirrun.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya, menyebutkan turunnya surat Al Kafirun merupakan bentuk tanggapan atas ajakan orang- orang kafir Quraisy untuk menyembah berhala-berhala mereka selama satu tahun, lalu mereka akan menyembah Allah selama satu tahun berikutnya, begitu seterusnya secara bergantian.
Surah al-Kafirun, yang terdiri atas enam ayat, diturunkan sebelum hijrah Nabi ke Madinah, dan surah yang menempati urutan turun ke-18 ini, menurut al- Wahidi dan at-Tabari, dilatari turunnya oleh ajakan sejumlah pemuka kaum kafir Mekah kepada Nabi untuk bertukar sembahan selama satu, dan akhirnya Allaah lihatkan peran mutlaknya, dipukul telak dengan “lakum dinukum waliyadiin”, silahkan kalian dengan agama kalian, dan kami dengan agana kami.
Meminta dan menawarkan untuk toleran kepada kaum minoritas oleh golongan tersebut sebenarnya sudah lama dimintai oleh mereka kepada golongan mayoritas, akan tetapi, tentu saja dalam batas-batas tertentu, dan mesti terkait masalah sembahan yang muaranya aqidah serta keteguhan dalam meng-ESA-kan Rabb (tauhid).
Implementasi toleran dalam masalah dinniyah (keagamaan) saat ini kaum minoritas masyarakat beragama di Indonesia cukup full dalam memberikan kesempatan yang hampir tidak ada batas dari kaum yang mayoritas, paling tidak terlihat dalam masalah pelaksana ibadah oleh masing-masing pemeluk agama, kita sudah toleran, namun tidak ada toleransi dalam hal keagamaan dan bentuk lain dari cara dan tatalaksana beribadah, kita sudah laksanakan tentang perintah Rabb dan Rasul-Nya, namun masalah pemeluk dalam keyakinan lain dipersilahkan, tidak usah ikut mengajak dalam beribadah pada agama lain.
Kenyamanan dan kesempurnaan beribadah pemeluk agama lain, bagi masing-masing penganut ajaran keagamaan serta bentuk ritual upacara ibadah lainnya dilingkungan mayoritas, Republik ini sudah berikan kepastian hukum dalam menjalankan dan memeluk agama.
Toleransi adalah saling menghargai satu sama lain melalui pengertian, dan toleransi berarti menghargai individu dan perbedaanya, menghapus topeng dan ketegangan yang disebabkan oleh ketidakpedulian, menyediakan kesempatan untuk menemukan dan menghapus stigma yang disebabkan oleh kebangsaan, agama, dan apa yang diwariskan.
Pasal 28E ayat (1) konstitusi dasar kita di Republik ini misalnya, menyebutkan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya,…..”
Kurang apalagi Republik ini, pemerintah kita telah terlebih dahulu bersifat antisipatif terhadap kebhinekaan yang ada dan tentu saja juga “peka” terhadap ketidak harmonisan hubungan sesama warga-nya.
Lebih lanjut, kita ketahui, pada tahun 1966, Majelis Umum PBB mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (IICCPR), atau disebut dengan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, sebagai negara hukum yang menjunjung penegakan dan penghormatan HAM, Indonesia sudah mengambil langkah dengan meratifikasi ICCPR melalui UU 12/2005 ( UU HAM).
Berkaitan dengan kebebasan beragama dan menganut kepercayaan, Pasal 18 ICCPR mengatur bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, hak ini mencakup kebebasan untuk menganut agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan pilihannya.
Mengucapkan selamat ber-waisak, berhari nyepi, Gong xi Fa Cai, dan selamat ber-hari Natal serta bentuk ucapan lainnya untuk penganut kepercayaan selain non muslim oleh Umat Muslim adalah bentuk toleran yang sesungguhnya dan tidak disebut “tabu” saat ini dan meskipun umat muslim tidak bagian dari mereka secara ke-Tauhid-an, namun berucap sebagai warga negara yang baik dalam menjaga toleransi sebagaimana diamanatkan oleh ketentuan diatas.[]
*) Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral UIN Bukittinggi, Ketua PCNU Kabupaten Agam, Pimpinan Pondok Pesantren Ash-Habul Yamin Lasi, dan Ketua FKPP Sumatera Barat.