Photo : suasana khalaqah santri dan mentor senior pada suatu waktu (lok PP . Ashabul Yamin Lasi)
Oleh ; Akmal Hadi,S HI,MH,Gr *)
QIRA’ATUL KUTUUB atau disebut dengan membaca kitab, itu artinya membaca kitab gundul tanpa harkat satupun, kecuali huruf dan titik sebagai penanda dan bentuk jenis huruf. Sering juga kitab gundul disebut dengan “kitab kuning” karena kebanyakan kitab ini terbuat dari kertas khusus berwarna kuning, dan terurai dalam bentuk juzzu‘, atau jilid-jilid kecil, dan kendatipun kitab gundul ini juga ada bertuliskan diatas kertas berwarna putih, namun tetap juga disebutkan dengan kitab kuning.
Awalnya, untuk masuk ke Pondok Pesantren dimana saja seluruh Indonesia , momok yang jadi kekhawatiran calon santri bahkan “phobia” untuk masuk ke pesantren adalah “kitab kuning” alias kitab gundul, namun akhirnya qirra’ atul kutuub ternyata memiliki ke asyikan tersendiri, bahkan salah satu cabang yang diperlombakan akhir-akhir ini pada helat Musabaqah minimal tingkat Nasional di Kabupaten-kabupaten sudah termasuk cabang Musabaqoh Qirraatul Kutuub (MQK).
Pembelajaran kitab kuning ini, ternyata tidak perlu “phobia” dengan jenis dan sebutannya, karena secara bertahap “baca kita kuning” adalah bentuk tahapan lanjutan (next fase) dari kitab dasar yang masih “gondrong” dan bahkan ini adalah sejenis tahap awal pembelajaran kitab selanjutnya, tidak hanya sekadar membaca bentuk ritual baca kitab, melainkan pada kitab dasar, sebutlah matnul juruumiyyah (Kitab Nahu), dan matan bina atau disebut juga dengan kitab Shorof.

Kedua kitab ini ; Nahu, Shorof adalah asasul ‘ilml fil lughoh (t) untuk mengetahui kitab-kitab besar yang ada setelahnya, dan kedua kitab ini merupakan kitab dasar pembelajaran tata bahasa, kosa kata dan tingkat paling rendah untuk belajar kitab lanjutannya, akan terasa berat kiranya untuk melanjutkan ke kitab gundul lainnya jika belum berkenalan dengan al- juruumiyyah wal bina, dan terasa betah yang mengasyikan jika kedua jenis kitab dasar ini “dilahap” pada tingkat awal masuk Pondok Pesantren.
Disebutkan al-Ajurrumiyah atau Jurumiyah atau Aajurroom (bahasa Arab: الآجُرُّومِيَّة) adalah sebuah kitab kecil tentang tata bahasa Arab dari abad ke-7 H/13 M, kitab ini disusun oleh ahli bahasa dari Maroko yang bernama Muhammad bin Muhammad bin Dawud, Abu Abdillah Ash Shinhaji/ Ash Shonhaji Al-Fasy An-Nahwi Al-Faqih Al-Muqri’ Al Maliki alias Ibnu Ajurrum (w. 1324 M).
Rumus-rumus dasar pelajaran bahasa Arab klasik ditulis dengan bentuk nasr atau prosa, di lingkungan masyarakat Arab, kitab ini menjadi salah satu kitab awal yang dihapalkan selain Al-Qur’an, mengingat ini adalah langkah awal untuk meng-eja lafadz-lafadz yang bertuliskan dengan bahasa arab.
Selanjutnya ada lagi kitab al-Amtislah at-Tasrîfiyyah atau disebut juga dengan kitab Sharaf/Shorof yang dikarang oleh KH Muhammad Ma’shum bin Ali saat umur beliau 19 tahun. KH Ma’shum lahir di Maskumambang, Gresik, berasal dari Pondok Pesantren Seblak Jombang, Kiai Ma’shum merupakan menantu dari Hadratussyekh KH Hasyim Asyari.**)
Kitab ini merupakan kitab “seiring jalan” dengan al Juruumiyyah, kegunaannya tentu saja untuk tata bahasa dan bervariasi sighat (bentuk kalimat), semuanya akan ditemukan di Pondok Pesantren tradisional untuk kalangan sendiri.
“nyantri hebat”, baca kitab Gundul laksana menulis diatas batu, bertahan lama dan merupakan langkah awal untuk disebut sebagai Qori dan atau disebut ahli qiraat dalam sebutan lainnya.
Keasyikan belajar kitab kuning, sama halnya muroja’ah atau “nyetor ayat” bagi penghafal Qur’an, di pondok pesantren akan ditemui sistimatis muroja’ah dengan istilah khalaqah dengan formulasi mudzakarah dengan dipandu tenaga mentor yang disebut dengan “guru bantu”.

Akan terasa beda jauh dengan pondok pesantren a -la modern yang cendrung untuk merafal dan meng-eja setiap kalimatnya dengan menggunakan dua kitab klasik yang kuno sebagai dasar tata cara bahasa.
Kecendrungan menyebutkan dengan pondok pesantren modern pada sejumlah pemondokan adalah sebagai jawaban terhadap pemondokan klasik dalam bentuk “surau” dengan pola “ngaji duduk”, ini merupakan suatu modernisasi terhadap klaim-an pondok adalah “Surau” yang notabene “ngaji duduk” dengan sistim khalaqah.
Tak banyak yang diketahui penulis tentang pola pemondokan pada pesantren modern saat ini, yang penulis tahu adalah boarding school untuk sebutan pemondokan asrama bagi pesantren klasik pada umumnya.
Transformasi seperti ini kiranya hanya ciptaan untuk antisipasi sebagai penampung kejenuhan santri dengan pola surauisasi (mondok disurau), dengan sebutan pondok pesantren modern.
Pesantren klasik tidak Ketinggalan dalam bentuk up date kekinian dalam prosesi pendidikan modern, ayo kurang apa di pondok pesantren klasik jika dibandingkan dengan pondok pesantren a-la modern, perbedaan signifikan adalah “boarding school” plus hidangan prasmanan, proses belajar mengajar niscaya tidak jauh beda, khusus dalam pembelajaran yang dimaksud di atas, kurikulum pembelajaran insyaallah tidak akan meninggalkan pola “iqra” terhadap kitab dasar tata bahasa nahu shorof.
Kurang apa pondok pesantren tradisional, disaat pondok pesantren modern melakukan prasmanan untuk hidangan makan, santri klasik di pondok pesantren tradisional justru paling santer indekost, atau swa-hidang (hidang sendiri), mau makan masak sendiri, kewirausahaan dan mandiri adalah out put positif untuk pe-nyantri-an
Khalaqah, mudzakarah adalah barometer musyawarah pada prinsip santri tradisional, kita bangga jadi Santri, insyaallah perbedaan pemahaman tradisional dan modern moga sekadar pemberian label dan nama pemondokan.
Wallaahu a’laam []
*) penulis adalah Ketua Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKPP) Sumatera Barat, dan Ketua PCNU Kabupaten Agam.
**) sumber nu-online