Oleh: Dr. Charles, M.Pd.I
(Senator dan Dosen Tetap Pada UIN Bukittinggi]
KENAKALAN anak dan remaja akhir-akhir ini bukan saja sekadar masalah disiplin, tetapi gejala dari krisis yang lebih dalam pada sistem keluarga, pendidikan, dan masyarakat kita, mulai dari tawuran pelajar, adu gangster, kecanduan gawai, pembangkangan terhadap orang tua, madat, asusila hingga jenis pelanggaran hukum lainnya, semua ini adalah panggilan agar kita membuka mata dan hati, bukan menggenggam cambuk bagaikan cemeti yang siap menerjang.
Alih-alih menghukum atau menyerahkan anak-anak bermasalah kepada lembaga militer, pendekatan yang menyeluruh dan manusiawi harus menjadi jalan utama, bahwa kenakalan anak tidak lahir dengan sendirinya, Ia tumbuh karena akar-akar masalah yang kompleks dan butuh sinergi para pihak untuk menyembuhkannya, kompleksitas anyaman yang rumit bagaikan sarang “tampua” atau burung manyar.
Fitrah kenakalan anak, sebelumya kita sebut dengan prosesi pencari Jati Diri dan arah yang tepat untuk di arunginya, namun semua butuh proses, dan mereka butuh perhatian.
Akar Kenakalan Anak dan Remaja
1. Disfungsi Keluarga ;
Anak yang tumbuh tanpa kasih sayang, komunikasi yang tidak sehat, atau figur teladan rentan yang mencari pelarian melalui kenakalan, Kekerasan rumah tangga, perceraian, dan pola asuh otoriter atau permisif menjadi pemicu utama.
2. Lingkungan Sosial yang Negatif :
Tekanan teman sebaya, lingkungan yang permisif terhadap kekerasan atau narkoba,komunitas yang tidak jelas arah, serta minimnya ruang ekspresi yang positif menyebabkan anak mencari jati diri di tempat yang salah, ditambah lagi minus kontrol dari pihak orang tua ataupun kerabat yang dipandang sebagai panutan sesungguhnya.
3. Kegagalan Sistem Pendidikan ;
Sekolah yang hanya menekankan nilai akademik tanpa menyentuh pembinaan karakter dan nilai telah kehilangan ruhnya. Anak yang tidak “cocok” dengan sistem dianggap gagal, padahal mereka hanya butuh cara belajar dan bimbingan yang berbeda.
Apatah lagi uswah yang tidak ditemui di lokasi tempat pembelajaran mereka adalah suatu kesalahan yang nantinya akan berdampak secara psikis bagi sang anak.
4. Krisis Spiritual dan Emosional ;
Di tengah derasnya arus digital dan globalisasi, banyak anak kehilangan pegangan nilai dan jati diri, mereka butuh arah, bukan hanya aturan.
Butuh pembimbing dan pengayom yang betul-betul sesuai dengan takaran pikiran awal mereka, namun akan kecewa terhadap sesuatu yang tidak ada mereka temui.
Solusi Komprehensif: Dari Rumah hingga Ruang Jiwa
Atas problematika yang tersampaikan di atas, kurang lebih sebuah solusi konstruktif terhadap kekhawatiran yang kiranya akan jadi acuan untuk prosesi membentuk karakter ber-adab dan berakhlak, minimal tidak masuk dalam ranah apa yang disebut dengan “Kenakalan” anak, sebagai berikut;
1. Revitalisasi Peran Keluarga ;
Orang tua harus kembali menjadi guru pertama dan utama, dengan memperkuat komunikasi yang hangat, teladan yang baik,serta humanis dan keterlibatan aktif dalam kehidupan anak, pendidikan karakter dimulai dari ruang makan, bukan ruang kelas, yang lebih utama adalah berjamaah pada waktu-waktu sholat, dan memperdengarkan bacaan-bacaan qur’an serta memperbanyak ruang interaksi dengan komunitas yang persuasif dan
2. Peran Ahli Pendidikan yang Pedagogis dan Humanis ;
Sekolah perlu menumbuhkan iklim pembelajaran yang menyenangkan dan penuh makna, dengan pendidik yang memahami perkembangan anak, bukan hanya kurikulum, dan guru seharusnya menjadi penyuluh jiwa, dan pendidik karakter, bukan hanya pengisi otak, dan juga tidak ada unsur pemaksaan agar pemahaman guru juga seharusnya sama dengan pemahaman murid.
3. Pendekatan Psikolog dan Konselor Sekolah ;
Setiap sekolah idealnya memiliki layanan bimbingan dan konseling yang proaktif, bukan reaktif. Psikolog dan konselor harus diberi ruang dan kepercayaan untuk membantu siswa memahami diri, menyelesaikan konflik, dan membangun ketahanan mental, setidaknya membangunkan rasa percaya diri dan akhirnya akan ber-empaty.
4. Pendidikan Sufi: Sentuhan Cinta untuk Jiwa yang Gelisah ;
Disinilah pendidik sufi — para guru ruhani dan mentor spiritual harus mengambil peran, sehingga dengan pendekatan hati ke hati, kasih sayang, zikir, dan penguatan nilai-nilai ruhani, mereka menghidupkan nurani anak. Pendidikan sufi mengajarkan bahwa setiap anak memiliki cahaya fitrah yang bisa bersinar jika dibersihkan dan dituntun dengan cinta dan penuh kasih
Penutup:
Dari Hukum ke Hikmah
Mari kita ubah paradigma dari menghakimi menjadi memahami, dari menghukum menjadi membimbing, Anak-anak bukan masalah, tapi amanah yang butuh didengar dan dipeluk, hanya dengan sinergi keluarga, sekolah, tenaga ahli, dan spiritualitas, kita bisa membentuk generasi yang tangguh secara akal, hati, dan ruh.
Disebutkan dalam sebuah riwayat,
“Barang siapa yang tidak menyayangi, ia tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari-Muslim)
Momentum Hardiknas, semoga para pendidik, pemimpin, dan orang tua mengambil jalan rahmah, bukan murka, dalam membina masa depan bangsa.
Wallaahua’laam bish showwab []