Oleh : Ustad Akmal Hadi,S.HI,M.Pd.Gr *)
TAKUT dan khawatir kita dalam berkepanjangan ketika ‘eidil fithr itu dimaknai dengan hari merayakan kemenangan oleh kaum muslimin dan muslimat yang telah selesai menjalankan ibadah puasa selama 1 bulan dari bulan Ramadhan, padahal sesungguhnya bahwa hari ‘eidil fithr itu merupakan hari dimana kita mengharapkan bahwa kita kembali suci setelah kita membersihkan diri (jasmani) dan qalb (jiwa) dengan cara berpuasa.
Cemas kita atas pengertian terlalu lama, bahwa hari ‘eidil fithr yang dijuluki “eid mubarak” ini sebagai hari dimana kita mencapai puncak kemenangan setelah ikut mensukseskan hadirnya bulan suci Ramadhan, padahal sesungguhnya ibadah puasa adalah kewajiban secara qath’iy dan itu adalah hutang yang harus kita tunaikan sesuai perintah dari Rabb-nya para hamba.
Sejatinya, ‘eidil fithr ini adalah “ajang lomba” membuat tambal sulam jika silaturahmi yang selama ini tergerus akibat jarang bertemu dan tentu saja tidak bertegur sapa, atau tergores bahkan robek tercabik sama sekali karena sering berhampiran, dan kesalahan yang seharusnya bersifat khilaf dan alpa terpantau sebagai kesalahan yang disengaja–sehingga agar tidak terlalu robek dan luka menganga yang akhirnya qath’urrahm maka kehadiran ‘eidil fithr adalah “perajut” Sillaturahmi yang terburai dan nyaris tercecer itu.

Ber-‘eidil fithr pada 1 syawal adalah wajib, sama hal wajibnya kita dalam menjalankan ibadah puasa yang telah kita tunaikan, maka paket kompilknya adalah wajibnya juga kita bersilaturahmi antar sesama kita, keluarga, besan, ipar, sumando, anak dan orang tua dan kerabat handai taulan lainnya, dan 1 syawal termasuk salah satu hari dimana Allaah mengharamkan kita untuk berpuasa ini adalah pertanda bahwa ber- yaumil fithr itu adalah hukumnya wajib.

‘eidil fithr bermakna lughah (t) nya kembali untuk berbuka sebagaimana hari sebelum bulan Ramadhan datang, al-Fithr artinya berbuka, dan hampir dipersamakan dan di- sepadankan dengan menyebut Fithri adalah Suci.
Berhari raya, juga sama sebutan untuk ber-‘eid mubarak yang tengah kita jalani saat ini setelah dikonversikan ke dalam sebutan keseharian kita, bahwa aidil fithri adalah hari rayanya umat Muslim setelah sebulan lamanya berpuasa.
Baru sekarang, paling tidak 5 tahun terakhir ini, hari raya dikalangan kita jadi booming untuk disebut sebagai “eidil fithr” dan eid Mubarak, dan untuk bahasa lokal warga tertentu ada juga yang menyebut ‘eidl fithr adalah”hari rayo gadang” untuk menyebut pembeda dengan “hari rayo haji” bagi lebaran ‘eidl adha atau hari raya korban (an- nahr).
Terlepas dari pembahasan tentang mana sesungguhnya yang pantas untuk dijuluki dengan “Hari Rayo Gadang” untuk ‘eidil fithr dan “Rayo Haji” untuk sebutan ‘eidil adhah, yang terpenting sesungguhnya dalam keseharian kita, merajut Sillaturahmi kembali adalah kewajiban yang tak bisa ditawar, selain perintah wajib-nya ber-Syadatain, sholat lima waktu, puasa pada bulan Ramadhan, berzakat dan berhajji, semuanya adalah berlevel wajib dimata Allaah.
Sebagai pengingat untuk kita, maka tidak berfaedah-lah lebaran eidil fithr ini, jika Sillaturahmi kita masih “bocor” dan “bolong-bolong” yang seharusnya sudah bisa ditambal dan disulam kembali dihari yang fithri-ini, maka kehadiran ‘eidil fithr akan bernilai sebagai ibadah pelengkap utama wajib dari ibadah wajib yang sebelumnya kita laksanakan, maka untuk itu Sillaturahmi harus terjaga utuh, sempurna dan konsisten serta Istiqomah untuk memeliharanya.
Wallaahua’laam []
*).Penulis adalah Raaisul ‘Aam PP Ashabul Yamin Lasi Kabupaten Agam, dan Ketua PCNU Kabupaten Agam.