Oleh ; DR.Charles,S.Ag,M.PdI *)
DALAM suatu pertemuan, ada salah seorang mahasiswa saya di Pasca Sarjana (S2) dengan konsentrasi Pendidikan Agama Islam (PAI) dan sebenarnya ada beberapa mahasiswa yang ajukan pertanyaan serupa, namun dengan redaksi pertanyaan yang berbeda, dan substansinya hampir sama, intinya begini ; “Bagaimana menurut bapak tentang gencarnya gerakan dan pelatihan tentang moderasi beragama di Kemenag [?]”, simple bukan..[?].
Dengan rasa kaget akibat pertanyaan spontan yang dilontarkan oleh mahasiswa saya, di pasca lagi, singkat saya jawab ; bagus ajarannya kalau diajarkan sesuai takaran dosisnya.
Dalam hati saya bergumam bahwa ini mahasiswa saya up date terhadap masalah temporer yang cendrung dinamis kekinian di Republik ini.
Diketahui moderasi beragama adalah cara pandang, sikap dan prilaku beragama yang dianut dan dipraktikkan oleh sebagian besar penduduk negeri ini, dari dulu hingga sekarang, Pemerintah-pun menjadikan moderasi beragama sebagai salah satu program nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Sebagai sebuah program, moderasi beragama dapat dimaknai sebagai upaya memoderasi penganut agama, agar dalam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya tidak terjebak pada dua kutub ekstrem, baik yang terlalu ketat atau yang terlalu longgar.
Terus, guna meyakini keteguhan hati saya terhadap pertanyaan yang disampaikan plus jawaban yang saya sampaikan, sembari saya menekankan, bahwa saya-pun menulis disertasi juga tentang Pendidikan Agama Islam yang berwawasan Multikultural, saya juga melakukan penelitian tentang pengembangan sikap multikultural, kajiannya mirip pembahasannya dengan moderasi beragama.
Tapi karena terlalu intens dan terkadang implementasi-nya dominan ke arah over dosis, sehingga membuat saya serasa “mual” akibat terlalu over dalam setiap prilaku pengamal moderasi beragama ini.
Kenapa tidak mual dengan konsep ini [?], bukan tidak beralasan sama sekali, begini, saya contohkan ibarat makan obat, makan obat kalau dokter anjurkan cukup 3 kali sehari, jangan dibuat 5 kali apalagi sampai 10 kali, maka selain over dosis, juga tidak boleh mengurangi takaran yang disepakati secara ilmu kedokteran sesuai dengan ‘ilmu” yang dipelajari oleh sang dokter, intinya, jangan lebih dan jangan kurang, sesuaikanlah dengan dosis takaran yang ada.
Jadi kalau moderasi ini terlalu berulang dan sering membahasnya itu over dosis dan melampaui dosis namanya, karena masih banyak yang harus diperbaiki dalam kehidupan beragama selain masalah moderasi beragama
Banyak porsi lain yang harus intensif diperhatikan selain moderasi beragama, bahkan menurut saya lebih penting dari moderasi beragama, contohnya tentang kualitas dan kuantitas ibadah sholat umat muslim yang masih rendah, kemampuan literasi agama bersifat dasar saja masih jauh dari harapan, belum lagi kalau kita bicara literasi kelas /tingkatan atas umat muslim yang harus mampu membaca kitab berbahasa Arab, apalagi secara faktual terlihat masih adanya
umat Islam tidak tegakkan Sholat 5 waktu yang merupakan pondasi sekaligus tiang agama secara Istiqomah (alHadist), Survei Indonesia Moslem Report 2019 menjelaskan, bahwa cuma 38,9 % umat Islam yang rutin sholat 5 waktu, dari angka itu yang rutin sholat jama’ah hanya 2%, yang tidak sholat sama sekali cuma 0,4%, jadi 6 dari 10 orang muslim masih bolong-bolong sholatnya.
Berdasarkan survei ini generasi Z (Gen-Z) yang digadang-gadang saat ini, kaum milinial sebutan lainnya juga ter-survey tentang tidak konsisten melaksanakan sholat lima waktu, riskan sekali, dan bagaimana hendaknya semakin tua semakin rutin sholatnya, jangan tergerus kondisi kekinian, inilah tugas rutin kita para da’i dan petugas pendidik disemua tingkatan, selain menggiring untuk lembaga pendidikan (madrasah), terpenting adalah pendidikan konvensional, dan ini merupakan porsi yang lebih besar dari pada moderasi beragama, bagaimana menurut bapak ibu guru atau para da’i?
Hasil survei nasional dari Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2023 menunjukkan bahwa tingkat literasi Al-Qur’an masyarakat Muslim Indonesia berada pada skor indeks 66,038, yang dikategorikan sebagai “tinggi”.
Berikut adalah beberapa temuan rinci terkait kemampuan membaca Al-Qur’an:
1. Kemampuan membaca huruf dan harakat: 61,51% masyarakat mampu mengenali huruf dan harakat Al-Qur’an.
2. Kemampuan membaca kata: 59,92% bisa membaca susunan huruf menjadi kata.
3. Membaca ayat dengan lancar: Hanya 48,96% yang mampu membaca ayat secara lancar, sedangkan kemampuan membaca dengan kaidah tajwid dasar mencapai 44,57%.
4. Masyarakat dengan literasi rendah: Sebanyak 38,49% masyarakat belum memiliki kemampuan literasi membaca Al-Qur’an yang baik
Dalam aspek lain seperti penulisan Al-Qur’an, sekitar 55,75% mampu menulis huruf Al-Qur’an, sementara 44,25% masih belum menguasai kemampuan ini, survei itu juga mengungkapkan bahwa perempuan cenderung memiliki kemampuan baca tulis Al-Qur’an yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Faktor utama yang menghambat peningkatan literasi ini termasuk keterbatasan akses ke TPA, majelis taklim atau layanan pengajian di beberapa wilayah terpencil, inilah tugas Kementerian Agama yang harus jauh lebih besar porsinya dari moderasi beragama.
Sebagai contoh, seberapa besar majlis ta’lim mampu meningkatkan persoalan ibadah di atas? kompetensi para asatidz (para guru) tentang materi di atas?, bagaimana pendekatan dan model pembelajaran yang baik? , begitu juga masalah literasi agama umat Islam bagai mana gaji guru TPA yang pantas?, dan siapa yang mengurus TPA serta lembaga pendidikan non formal lainnya untuk konsentrasi dengan Al-Qur’an?, apalagi kalau kita bicara honor guru pesantren, ayo siapa yang peduli ?
Jadi kesimpulannya, moderasi beragama tidak buruk diberikan kepada pegawai dan ASN dilingkungan kementerian agama, dan umat Islam, namun yang terpenting adalah jangan abai dengan perkara-perkara yang dianggap kecil ternyata mengganjal untuk menuju moderasi beragama yang dimaksud, maka tidak boleh seolah-olah hanya ini (moderasi) yang penting dan yang lain diabaikan dan tidak penting sama sekali.
Wallaahu a’laam bish showwab[]
*).Penulis adalah Senator dan Dosen Pasca Sarjana UIN Bukittinggi.