Oleh : Dr. Charles, M.Pd.I
AGAMA Islam sebagai anutan kepercayaan terbesar umat manusia dibelahan dunia ini, patut kiranya kita berbangga dengan banyaknya para ‘Ulamaa akhir-akhir ini, hampir setiap sudut kita mendengar ada ‘Ulama yang akan mengajarkan setiap risalah ke agamaan dan syar’i terhadap umat sepeninggal Rasulullah.
Kenapa tidak, selain seorang ‘Ulamaa pasti itu adalah ‘Aaliim (memiliki ilmu keagamaan yang banyak) dan juga disebut sebagai waritsatul anbiyaa’ (pewaris Nabi), namun, yang perlu diketahui adalah, kehadiran Ulamaa yang saat ini kita mendengarnya ada dimana-mana, apakah sudah sesuai dengan apa yang diharapkan oleh para umat guna menuntut Jama’ah untuk ke jalan yang disebut Shirothol Mustaqiim, mininal akan mengajarkan kita juga untuk cara beragama yang baik.
Nah, untuk mengetahui hal yang demikian, berikut Imam Sufyan ats-Tsauri menyebutkan beberapa nasehat untuk para Ulama ;
1. Nasihat Emas Ulama Salaf :
وقال سفيان الثوري رحمه الله:
العلماء ثلاثة:
1. عالمٌ بأمر الله غير عالم بالله؛ فذلك العالم الفاجر الذي لا يصلح إلا للنار!
2. وعالم بالله غير عالم بأمره؛ فذلك ناقص!.
3. وعالم بالله وبأمره، فهو العالم الكامل.
Terjemahan:
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata:
Para ulama itu terbagi menjadi tiga:
1. Seorang ‘alim yang mengetahui perintah Allah tetapi tidak mengenal Allah; ia adalah ulama yang fasik, tidak layak kecuali untuk neraka.
2. Seorang ‘alim yang mengenal Allah namun tidak mengetahui perintah-Nya; ia adalah orang yang kurang.
3. Seorang ‘alim yang mengenal Allah dan mengetahui perintah-Nya; dialah ulama yang sempurna.
2. Tiga Golongan Ulama: Tafsir dan Implikasinya
Nasihat Imam Sufyan ats-Tsauri ini tidak hanya menjelaskan klasifikasi ulama, tetapi sekaligus menjadi kritik mendalam terhadap realitas keilmuan yang terlepas dari ma‘rifatullah ;
a. Ulama Fajir : Tahu dan mengenal Hukum, akan tetapi Tidak Kenal Allah :
Golongan pertama ini adalah mereka yang memiliki keluasan ilmu syariat—hafal dalil, fasih menjelaskan fatwa, lihai dalam fiqh dan hukum—tetapi hatinya kering dari rasa takut dan cinta kepada Allah. Golongan ini tidak merasakan kehadiran Allah dalam ilmunya, sehingga ilmu menjadi alat , sarana dan status, bukan alat untuk mendekat kepada Allah.
Imam al-Ghazali menyebut golongan ini sebagai ulama as-sū’ (ulama buruk/ jahat), yakni mereka yang menjadikan ilmu sebagai kendaraan untuk mencari dunia.
“Sesungguhnya orang yang paling keras siksanya di hari kiamat adalah seorang alim yang tidak memberi manfaat dari ilmunya.”
(HR. Thabrani, dalam al-Mu‘jam al-Kabīr, hasan)
b. Ulama Arif tapi Kurang Syariat ;
Golongan kedua adalah mereka yang memiliki hati yang bersih, sering menangis dalam dzikir, merasa dekat dengan Allah, namun lemah dalam ilmu fikih, hukum, dan perintah syariat.
Mereka adalah para pencari Tuhan yang tulus, tetapi ilmunya belum sempurna.
Kondisi ini dapat berbahaya jika menyebabkan kesalahan dalam ibadah, atau bahkan jatuh pada bid‘ah karena tidak memahami batasan syariat.
c. Ulama Kamil: Menyatukan Syariat dan Ma‘rifat ;
Golongan ketiga adalah ideal : alim yang mengetahui perintah Allah (syariat) dan mengenal Allah dengan hati (ma‘rifat), Ia memadukan ilmu dan hikmah, dzikir dan fikih, lisan dan batin, Ia memahami halal-haram, sekaligus takut kepada Allah dan bersih dari penyakit hati.
Inilah sosok ulama rabbani yang disebut dalam Al-Qur’an:
﴿كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ﴾
“Hendaklah kamu menjadi ulama rabbani karena kamu selalu mengajarkan Kitab dan karena kamu selalu mempelajarinya.”
(QS. Ali ‘Imran: 79)
3. Cermin untuk Kita: Di Mana Posisi Kita?
Nasihat ini menjadi cermin bagi penuntut ilmu dan para pendidik, Jangan sampai ilmu kita hanya mempertebal ego, menjauhkan diri dari Allah, dan menjadi hujjah atas kebinasaan, Sebaliknya, ilmu harus menjadi wasilah (jalan) menuju khasyah (takut kepada Allah).
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
«أشدكم لله خشية أعلمكم بالله»
“Orang yang paling takut kepada Allah adalah yang paling mengenal-Nya.”
(HR. At-Tirmidzi, no. 2415)
4. Penutup: Ilmu Lahir dan Ilmu Batin Harus Seimbang ;
Imam Sufyan ats-Tsauri mengajarkan kepada kita bahwa ketinggian ilmu bukan diukur dari seberapa banyak hafalan, melainkan dari seberapa besar pengaruh ilmu itu dalam menghadirkan Allah dalam dan di hati.
“Ilmu tanpa rasa takut kepada Allah hanyalah beban, Rasa takut tanpa ilmu bisa menyesatkan, Gabungan keduanya yang akan menyelamatkan.”
Wallaahua’laam bish showwab []
Referensi:
Ats–Tsauri, Sufyān. (w. 161 H). Maqālāt wa Aḥkām Sufyān ats-Tsaurī.
Al-Ghazālī, A. H. (2005). Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn. Beirut: Dār al-Fikr.
Al-Qur’an al-Karīm: QS. Ali ‘Imran: 79.
At-Tirmidzi, M. I. (2007). Sunan at-Tirmidzi, no. 2415.
Ath-Thabrani. Al-Mu‘jam al-Kabīr.
*). Dr. Charles, M.Pd.I. adalah dosen UIN Bukittinggi dan peneliti bidang Pendidikan Islam.