Oleh : Akmal Hadi,S HI.M.Pd.Gr
[ Raaisul ‘Aam Pondok Pesantren Ashabul Yamin Lasi, Ketua PCNU Agam]
PATUT sebenarnya kita berbangga dengan sebab etnis yang kita ada dalam bagian dari etnis itu, kita memiliki banyak kosa kata yang kiranya dapat membimbing, pengingat, dan penunjuk serta menuntun kita ke arah yang lebih baik, karena mungkin ada suatu “kurenah” sikap dan tindakan kita yang salah dalam interaksi sehari-hari misalnya, biasanya untuk memberikan teguran atas kesalahan dan silaf-nya kita cukup disampaikan melalui kalimat-kalimat bersifat”sindiran” atau kiasan (majaziy).
Sindiran atau kalimat majaziy itu biasanya lebih populer pada era masa-masa main congklak, petak umpet dan “anak mudo” masih nginap di surau sambil mijit guru ngaji menjelang mata ngantuk, dan guru usai bertani siang harinya.
Kita kaya dengan banyak istilah populer yang berguna untuk mengingatkan dan menegur kita, manakala seseorang dengan tak sengaja berbuat keliru dan ataupun terjadi salah ucap.
Dikalangan kaum adat, istilah petatah petitih adalah bentuk gurindam untuk bertutur dalam hal menguji dan “asah lisan” guna menjadikan seseorang pintar bicara sementara dalam menegur yang keliru dalam bersikap biasanya disapa dengan sindiran atau kiasan dan sejenisnya.
Sekarang metode itu tidak banyak berguna di era kekinian (millenial/ Gen Z) yang sibuk dengan mobile legend, Pub-G, dan bentuk game house lainnya.
“Tunjuok luruih kelingking berkait“, dalam angguok geleng tibo, dalam iyo ba indak an, musang babulu ayam dan banyak istilah kuno lainnya yang tidak banyak diminati oleh Gen-Z dan generasi milenial untuk mengetahui dan mempelajarinya, sehingga ini akan jadi pundi-pundi aset kosa kata kita yang terkubur dan nantinya akan jadi fosil “istilah kuno” diregulasi falsafah kita.
Paling santer yang sering terucap adalah Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, ini falsafah lama, namun karena sering diulang pada gilirannya menjadi rujukan pembicaraan kita sehari-hari, untuk kampanye politik misal, momen-momen khusus seremonial, jika agenda tersebut dilaksanakan di ranah minang, maka falsafah itu jadi trending, nantilah apakah mereka mengetahui tentang makna dan tujuan dengan falsafah itu, yang penting kita menganulir falsafah besar kita.
“belum cukup pengantar kata dan sambutan kita jika tidak sebut falsafah ABS-SBK”
Sebagaimana kita sebutkan diatas tadi, Tunjuok Luruih Kelingking Bakaik, maaf kita tak sebutkan terjemahan dengan bahasa nasional kita, karena memang akan berbeda arti yang tersimpan dalam kiasan ini jika dibahasa Indonesia-kan, sama halnya untuk menyebutkan Musang Berbulu Ayam, atau Kambing berbulu Domba.
Kedepannya, pribahasa ini berharap bisa masuk dalam muatan lokal pada meja pendidikan baik formal maupun non formal, hal ini bertujuan ketika kita berunding dengan ungkapan majaziy, maupun kiasan, akan memperkaya khazanah pengetahuan dan ilmu para generasi mendatang.[]